TUJUAN HIDUP MANUSIA
Oleh :
Duty Metta Setyani
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hidup tidaka
hanya sekali. Adanya siklus lahir dan mati., bagaikan siang dan malam. Kematian
bukanlah akahir, karena seketika itu pula berlanjut dengan kelahiran kembali.
Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang lain, ataupun kembali
ke alam yang sama,para makhluk menjalani lingkaran tumimbal lahir. Buddha
mengatakan, “sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimbal lahir dan dalam
tumimbal lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri.
Karena itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahliwaras dari perbuatannya
sendiri.” (A. V , 291).
Manusia terdiri
dari kombinasi antara jasmani dan batin (nama rupa). Dalam bahasa pali, badan
jasmani oleh sang Buddha disebut dengan rupa, batin disebut nama. Rupa dan nama
terdiri dari kelompok kehidupan yang disebut pancakkhanda, yaitu: rupa, vedana,
sanna, sankhara, dan vinnana. Rupa merupakan sesuatu yang berbentuk yaitu badan
jasmani dari ujung rambut sampai ujung jari kaki. Vedana adalah perasaan. Sanna
adalah kepercayaan, pengalaman dan ingatan. Sankhara adalah bentuk-bentuk
pikiran. Vinnana adalah kesadaran. Hubungan antara jasmani dan batin bagaikan
hubungan erat antara bunga dan bau. Jasmani sebagai bunga dan batin sebagai
bau. Jasmani dan batin tidak dapat dipisahkan oleh manusia biasa, hanya para
arahat atau Buddha yang dapat memisahkan kedua hal tersebut. Kematian hanya
merupakan pemisahan antara kedua hal ini, yang berlangsung hanya sesaat dan
secara otomatis batin akan bergabung dengan jasmani yang baru dalam kelahiran
berikutnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa tujuan hidup manusia?
2.
Mengapa agama itu perlu?
3.
Bagaimana cara mencari tujuan hidup?
4.
Apa yang dimaksud dengan penyadaran atau pencerahan?
5.
Apa yang dimaksud dengan jalan menuju pencerahan?
6.
Bagaimana ajaran agama Buddha di masyarakat luas?
C.
Tujuan
1.
Memahami dan mengkaji tujuan hidup manusia
2.
Memahami perlunya suatu agama
3.
Mengetahui tentang mencari tujuan hidup
4.
Mengetahui dan memahami arti penyadaran/perncerahan
5.
Mengetahui dan memahami jalan menuju pencerahan
6.
Memahami dan mengkaji ajaran agama Buddha bagi masyarakat luas
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan
Hidup Manusia
Tujuan hidup
adalah untuk mencapai akhir penderitaan atau ketidakpuasan. Tujuan hidup
manusia, selain untuk melangsungkan keturunan dan memperoleh kemajuan hidup,
maka yang terpenting adalah untuk mencapai tujuan akhir yakni Nibbana, yaitu
suatu keadaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha, serta suatu keadaan yang
pasti setelah melenyapkan keinginan-keinginan. Nibbana adalah padamnya
keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan kotoran-kotoran batin.
Nibbana adalah
kensunyataan abadi, tidak dilahirkan (na uppado pannayati), tidak termusnakan
(na vayopannayati), ada dan tidak berubah (na thitassa annathattan pannayati).
Nibbana disebut Asankhata Dhamma, yang sulit dibabarkan yang bagaimana keadaan
gelap yang hanya dapat dialami jika dhukka telah disadari. Bagi umat Buddha,
nibbana adalah cita-cita atau tujuan hidup yang kelak akan dicapai, entah dalam
kehidupan sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang yang diperlukan
hanyalah tekad yang kuat (Adhittana) untuk mengikuti jalan yang telah
ditunjukan oleh guru kita, Sang Buddha Gotama.
Nibbana adalah
tujuan akhir umat Buddha juga suatu keadaan
yang pasti setelah keinginan lenyap. Nibbana adalah batin yang bersih
dari dosa (ketidak senangan), lobha (keserakahan), dan moha (kebodohan). Dalam
Cattari Ariya Saccani, nibbana diartikan sebagai “ dukkha-nirodha” yaitu
lenyapnya dukkha, yang juga diartikan sebagai lenyapnya penyebab dukkha yakni “
tanha”. Tanha muncul karena adanya avijja (kebodohan). Karena tanha lenyap,
maka avijjapun lenyap. Seseorang yang telah menlenyapkan semua kekotoran batin
disisebut telah mencapai kilesa nibbana. (Virana.Ensiklopedia Buddha Dhamma).
Ingat bahwa
tujuan utama umat Buddha adalah mencapai kemurnian dan pencerahan. Pencerahan
menundukan ketidaktahuan yang merupakan akar kelahiran dan kematian.
Bagaimanapun, penundukan ketidaktahuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan
latihan kepercayaan diri sesorang. Semua usaha lain khususnya usaha intelektual
semata tidaklah efektif. Inilah sebabnya sang Buddha menyimpulkan, “pertanyaan (metafisik) ini tidak membawa manfaat; hal ini tidak
berhubungan dengan dharma; hal ini tidak menuju pada perbuatan benar, atau
ketidakmelekatan, atau pemurnian dari nafsu, atau kesunyian, atau menuju hati
yang tenang, atau pengetahuan sejati, atau padangan yang lebih tinggi, atau
Nibbana.” (malunkyaputta
sutta-majjhima Nikaya).
B.
Perlunya
Suatu Agama
Menurut Encyclopaedia of Buddhism, kata “agama”
berasal dari a-gam yang artinya “datang” atau “tiba”, maksudnya mendekat,
menemui, sumber, doktrin dan pengetahuan tradisional, khususnya dipakai untuk
menujuk kepada kitab suci. Balakangan “agama”
diartikan sebagai apa yang diwariskan oleh para guru secara
turun-temurun, berupa sabda, ajaran, aturan, riwayat dan sebagainya. Kata
“agama” juga dipergunakan oleh golongan agama lain di india, misalnya Jaina dan
berbagai aliran Hindu.
Dalam bahasa
Indonesia sekarang, kata agama merupakan padanagan atau terjemahan dari kata religion (inggris) dan ad-din (arab). Menurut kamus besar
bahasa Indonesia, agama berarti: kepercayaan kepada tuhan (dewa, dan
sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan itu.(Krishnanda Wijaya-Mukti).
Kepercayaan
bukanlah agama, bila hanya merupakan komponen dari suatu agama atau religi.
Tetapi aliran kepercayaan atau gerakan kebatinan di luar agama tertentu dan apa
yang dinamakan agama asli, agama etnis atau agama suku, dapat dianggap sebagai
salah satu bentuk religi.
Dalam perspektif
Buddhis, kepercayaan dan upacara saja tidak cukup; sebagai salah satu kreteria
agama, yang penting adalah nilai-nilai moral. Berdasarkan pengertian yang
benar, menurut Buddha ada nilai dalam amal, “pengorbanan dan persembahan; ada
ganjaran atas perbuatan baik atau perbuatan jahat; ada dunia ini, dan ada pula
dunia setelah kematian; ada kewajiban-kewajiban moral, termaksud berbakti
kepada ibu dan ayah; ada guru-guru setelah melaksanakan sendiri hidup yang
baik, mewartakan pengetahuan tertinggi dan pemahaman pribadinya mengenai
hakikat dunia ini dan dunia seberang.” (M.III, 72).
Agama adalah
wujud perjuangan manusia, agama merupakan kekuatan terbersarnya menuntunya
menuju penyadaran diri agama memiliki kekuatan untuk mengubah seseorang dengan
sifat negatif menjadi seseorang dengan sifat positif. Agama mengubah orang yang
tidak mulia menjadi mulia, orang egois jadi tidak egois, orang sombong jadi
rendah hati, orang angkuh jadi sabar, orang tamak jadi murah hati, orang kejam
jadi baik, orang subjektif jadi objektif. Setiapa agama mewakili, bagaimanapun
tidak sempurnanya, suatu pencapaian ketingkat mahluk yang lebih tinggi. Sejak
awal, agama menjadi sumber artistik dan inspirasi budaya manusia. Walaupun
berbagai bentuk agama timbul dalam sejarah, beberapa hanya lewat dan dilupakan,
setiap agama dlam masanya telah menyumbangkan sesuatu terhadap kemajuan
manusia. Kristen membantu peradaban barat, dan melemahnya pengaruh Kristen
telah menandai turunnya semangat orang barat. Ajaran Buddha, yang menbudayakan
sebagian besar wilayah timur jahu hari sebelumnya, masih merupakan sesuatu
kekuatan vital, dan dalam masa pengetahuan ilmiah ini cenderung berkembang dan
memperkuat pengaruhnya. Ajaran Buddha dalam sudut apapun, tidak bertentangan
dengan pengetahuan modern, tetapi mencakup dan melampaui semuanya dalam cara
yang tidak pernah dilakukan oleh sistem pemikiran lain, sebelum dan sesudahnya.
Orang barat berjuang menaklukan alam semesta untuk tujuan material. Ajaran
Buddha dan filosofi timur berjuang untuk mencapai keselarasan dengan alam atau
meningkatkan kepuasan spiritual.
Agama mengajarkan
seseorang bagaimana cara menenangkan indera serta membuat hati dan pikiran
damai. Rahasia penenangan idera adalah dengan melenyapkan nafsu yang merupakan
akar pengganggu. Sangat penting bagi kita untuk memiliki kepuasan. Semakin
orang bernafsu akan kepemilikikannya, orang akan semakin menderita. Kepemilikan
tidak memberikan kebahagiaan sejati bagi
manusia. Kebanyakan orang kaya di dunia saat ini menderita sejumlah masalah
fisik dan mental. Dengan semua unag yang mereka miliki, mereka tidak dapat
membeli solusi bagi masalah mereka. Tetapi, orang termiskin yang telah belajar
untuk memiliki kepuasan dapat lebih menikmati hidup dari pada orang terkaya.
Seperti yang dikatakan suatu sajak :
“beberapa orang
memiliki terlalu banyak, tetapi tetap bernafsu : saya memiliki sedikit dan
tidak lagi mencari : mereka miskin sekalipun banyak yang mereka miliki : dan
saya kaya dengan sedikit perbekalan : mereka miskin, saya kaya : mereka
meminta, saya memberi : mereka kekurangan, mereka merana, saya hidup.” (Sri Dhammananda)
C.
Mencari
Tujuan Hidup
Tujuan hidup
setiap orang berbeda. Seorang Seniman mungkin berjuang untuk melukis mahakarya
yang akan bertahan lama setelah ia tiada. Seorang ilmuan mungkin ingin
menemukan suatu fenomena, memformulasikan suatu teori baru, atau menemukan
mesin baru. Seorang politikus mungkin ingin menjadi perdana mentri atau
presiden. Seorang eksekutif muda mungkin bertujuan untuk menjadi direktur
perusahaan multi nasional. Bagaimanapun, jika anda bertanya pada seniman,
ilmuan, pilitikus, dan eksekutif muda itu mengapa mereka bertujuan semacam itu,
mereka akan menjawab bahwa pretasi tersebut akan memberi mereka suatu tujuan
dalam hidup dan membuat mereka bahagia. Tetapi akan kah pencapaian ini membawa
kebahagia abadi? Semua orang bertujuan untuk kebahagiaan dalam hidup, tetapi
dalam prosesnya mereka malah lebih menderita. Nilai kehidupan bukan terletak
pada panjangannya hari tetapi pada jarak kita memanfaatkan hidup. Orang mungkin
hidup panjang tanpa melakukan pelayanan apapun kepada sesama, hidup semacam ini
tidaklah bernilai. (Sri Dhammananda).
D.
Penyadaran/Pencerahan
Sekali kita
menyadari sifat kehidupan (ditandai dengan perubahan, ketidakpuasan, dan
tiadanya ego) serta sifat ketamakan dan cara pemuasannya, kita akan dapat
memahami mengapa kebahagiaan yang sangat ingin dicari oleh banyak orang itu
sungguh sulit diraih, ibarat sulitnya menggenggam sinar rembulan. Mereka
mencoba meraih kebahagiaan melalui pengumpulan. Ketika mereka tidak sukses
dalam pengumpulan kekayaan, peroleh posisi, kekuasaan dan kebahagiaan, dan
mendapatkan kesenangan dari pemuasan indera, mereka akan merana dan menderita.
Iri pada orang lain yang sukses melakukan hal itu. Sekalipun jika mereka
‘sukses’ dalam mencapai hal-hal tersebut, mereka tetap saja menderita karena
mereka kemudian takut kehilangan apa yang telah diperoleh, atau keinginan mereka
sekarang telah meningkat untuk lebih kaya, posisi yang lebih tinggi, lebih
berkuasa, dan kesenangan yang lebih besar. Keinginan mereka tidak dapat
dikenyangkan sepenuhnya.inilah sebabnya pemahaman hidup itu penting agar kita
tidak membuang waktu terlalu banyak melakukan hal yang tidak mungkin.
Disinilah
pemelukan suatu agama menjadi penting, karena hal ini mendorong kepuasan dan
mendorong orang untuk melihat lebih dari sekedar kebutuhan daging dan egonya.
Dalam suatu agama seperti agama Buddha, kita diingatkan bahwa kita adalah ahli
waris kamma dan tuan nasib kita
sendiri. Untuk memperoleh kebahagian yang lebih besar, kita harus siap untuk
meninggalkan kesenangan jangka pendek. Jika seseorang tidak percaya tentang
kehidupan setelah kematian, bahkan cukup baginya untuk menjalani hidup yang
lebih baik dan mulia di bumi, menikmati hidup damai dan bahagia disini dan
sekarang. Juga melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kebahagian orang lain.
Menjalani hidup yang positif dan bermanfaat semacam itu di bumi dan menciptakan
kebahagian bagi diri sendiri dan orang lain adalah jauh lebih baik daripada
hidup egois dengan mencoba memuaskan ego dan ketamakan sendiri. Jika kita tidak
tahu bagaimana cara hidup sesuai harapan orang lain, bagaimana kita dapat
mengaharapkan orang lain untuk hidup sesuai dengan harapan kita.
Jika seseorang
percaya akan kehidupan setelah kematian, maka menurut hukum kamma, tumimbal
lahir akan terjadi sesuai dengan kualittas perbuatanya. Orang yang telah
melakukan banyak perbuatan baik mungkin terlahir dalam kondisi yang
menyenangkan di mana mereka ia menikamati kekayaan dan kesuksesan, kecantiakan
dan kekuatan, kesehatan yang baik, dan bertemu teman dan guru spiritual yang
baik. Perbuatan yang bermanfaat dapat juga menuntun pada tumimbal lahir di surga
dan keadaan luhur lainnya, sedangakan perbuatan yang tak bermanfaat menuntun
pada tumimbal lahir dalam keadaan menderita. Jika seseorang memahami kamma. Ia
akan menahan diri dari perbuatan buruk dan coba mengembangakan kebaikan. Dengan
berbuat demikian, ia memperoleh keuntungan bukan hanya dalam hidup saat ini,
tetapi juga dalam banyak kehidupan mendatang.
Saat seseorang
memahami sifat manusia. Maka timbul beberapa penyadaran yang penting. Ia
menyadari bahwa tidak seperti batu atau karang. Manusia memilki potensi bawaan
lahir untuk tumbuh dalam kebijaksanaan. Belas kasih,kesadaran dan di ubahkan
oleh perkembangan dan pertumbuhan hidup ini .Ia juga memahami bahwa tidak mudah
untuk terlahirkan sebagai manusia.khususnya manusia yang memiliki kesempatan untuk mendengarkan dhamma. Sebagai tambahan, Ia
sepenuhnya sadar bahwa hidupnya tidak abadi dan karena itu, Ia mempraktikan
dhamma selama masih dalam posisi yang memungkinkan untuk berbuat itu. Ia
menyadari bahwa praktik dhamma adalah suatu proses pendidikan seumur hidup yang
memungkinkannya untuk membebaskan potensi sejati yang terperangkap dalam
pikirannya oleh kegelapan batin dan ketamakan. Untuk mengalami kesenangan
duniawi harus ada objek eksternal atau rekan, tetapi tidak mencapai kebahagiaan
batin tidak di perlukan objek eksternal.
Berdasarkan pada
penyadaran dan pemahaman ini, ia kemudian akan mencoba untuk lebih sadar akan
apa dan bagaimana ia perpikir, berucap dan berbuat. Ia akan mempertimbangkan
apakah pikiran, ucapan dan tindakannya berguna, di lakukan dari welas asih dan
memiliki dampak yang baik bagi dirinya sendiri serta orang lain. Ia akan
menyadari nilai sejati dan menapaki jalan yang menuju pengubahan diri sempurna,
yang di kenal oleh umat Buddha sebagai jalan Ariya beruas delapan. Jalan ini
dapat membantu seseorang mengembangkan kekuatan moralnya (Sila) memalui
penahanan perbuatan negatif dan perkembangan sifat positif yang mendukung
pertumbuhan pribadi, mental dan spiritual. Sebagai tambahan, jalan ini
mengandung jalan teknik yang dapat di terapkan seseorang untuk memurnikan
pikiran, memperluas kemungkinan pikiran, dan membawa perubahan sempurna menuju
kepribadian yang bermanfaat. Praktik mengembangkan mental (bhavana) ini dapat
memperluas dan memperdalam pikiran untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
sifat dan karakteristik fenomena,
kehidupan dan alam semesta. Singkat kata, hal ini mengarah pada
pengembangan kebijaksanaan (panna). Saat kebijaksanaanya tumbuh, demikian juga
cinta, belas kasih, kebajikan, dan kegembiraannya. Ia akan memiliki kesadaran
yang lebih besar terhadap semua bentuk kehiduapan dan pemahaman yang lebih baik
akan pikiran, perasaan dan motivasinya sendiri.
Dalam proses
perubahan diri, orang tidak lagi bercita-cita untuk suatu kelahiran kembali
dengan tujuan akhir dalam hidup. Ia kemudian akan menetapkan tujuan yang jauh
lebih tinggi, dan mengikuti jejak Sang Buddha yang telak mencapai puncak
kesempurnaan manusia dan mencapai tingkat yang tak terkatakan yang kita sebut
pencerahan atau Nibbana. Di sinilah umat Buddha mengembangkan kepercayaan diri
yang besar dalam tiratana dan menerima Sang Buddha sebagai panutan spiritual.
Umat Buddha akan berjuang untuk membasmi ketamakan, mengembangkan kebijaksanaan
dan belas kasih, dan untuk sepenuhnya terbebas dari belenggu samsara. (Sri
Dhammananda).
Pencerahan
adalah pemgalaman rohani yang dalam seketika menyadarkan dan menyempurnakan
hidup seseorang yang mengalaminya. Penyempurnaan yang dimaksud terkait dengan kebijaksanaan dan kesucian,
yang membuatnya terbebas dari samsara. Mereka yang mengalami pencerahan
menyadari hakikat diri sendiri serta dunia yang kosong dan sementara. Sekalipun
Buddha dan Bodhisattwa mungkin mengambil bentuk manusia, mereka tidak terkait
pada apa yang dinamakan diri.
Dalam agama
Buddha pencerahan adalah suatu realisasi atau pengcapaian aktivitas. Bukan
secara ilham, mimpi, atau wahyu. Manusia mendapatkan pencerahan bukan karena
adanya kekuatan yang datang dari luar dirinya, tetapi dibangunkan dari
kesadaran dirinya sendiri sebagai manusia. Walaupun pencerahan debedakan atas
sravaka-bodhi, prateyaka-Bodhi, Samyak-Sambodhi, pada dasarnya ketiga macam
pencerahan itu berada dalam jalan yang sama.
Pencerahan dapat
dipandang sebagai pembebasan dari khayalak yang menyesatkan. Pada dasarnya kita
semua memiliki apa yang disebut
pencerahan, tetapi terhalangi oleh khayalan seperti halnya matahari yang
tertutup awan. Itulah sebabnya pencerahan bukan suatu prestasi dalam arti
mendapatkan sesuatu yang baru. Ketika terjadi pencerahan kita hanya terbebaskan
dengan menyingkirkan awan-awan menutupi.
Pencerahan yang
diungkapkan oleh Kitab Suci merupakan pencapaian kebijaksanaan dan kesucian.
Pencapaian terjadi krena penembusan (pativedha), yang dibedakan dalam empat
katagori berdasarkan tingkat kesucian. Tingkat kesucian pertama sotapatti;
kedua sadakagama; ketiga anagami dan keempat, yang tertinggi, arahatta. Ukuran
kesucian adalah sejauh mana kesepuluh belenggu (samyojana) yang membuat
sesorang terkait pada kelahiran kembali, dihancurkan. Penembusan dapat dialami
oleh laki-laki atau peerempuan, tua atau muda.
Pencerahan
adalah menyingkirkan ketidaktahuan; merupakan cita-cita hidup umat Buddha. Kita
sekarang dapat meliahat dengan jelas bahwa pencerahan bukanlah aksi
intelektualitas semata. Spekulasi semata tidak menolong sesorang untuk
mendekati kenyataan hidup. Inilah sebabnya sang Buddha memberikan penekanan
utama pada pengalaman pribadi. Meditasi merupakan sistem ilmiah praktis untuk
menguji kebenaran yang datang dari pengalaman pribadi. (Krishnanda
Wijaya-Mukti).
E.
Jalan
Menuju Pencerahan
Jalan menuju
pencerehan hingga tercapainya nibbana adalah jalan tengah, jalan mulia berunsur
delepan. Menurut urutan pengembangannya, terdapat tahapan, dimulai dari
unsur-unsur sila, lalu berikutnya samadi dan kebijaksanaan. Pada dasarnya unsur
yang satu terkait dengan yang lain, karena sila, samadi dan kebijaksaan
merupakan satu jalan yang tunggal.
Sang Buddha menghampiri mereka, seraya berkata, “Para
bhikkhu, jalan yang kalian bicarakan adalah keadaan di luar diri kalian.
Seorang bhikkhu seharusnya hanya terpusat pada ‘jalan utama’ (jalan Ariya) dan
berusaha keras berbuat sesuai dengan ‘Jalan Ariya’ yang membimbing kita
merealisasi kedamaian abadi (nibbana).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 273 sampai dengan 276
berikut ini :
Di antara semua jalan,
maka ‘Jalan Mulia Berfaktor Delapan’ adalah yang terbaik;
di antara semua kebenaran,
maka ‘Empat Kebenaran Mulia’ adalah yang terbaik.
Di antara semua keadaan,
maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik;
dan di antara semua makhluk hidup,
maka orang yang ‘melihat’ adalah yang terbaik.
maka ‘Jalan Mulia Berfaktor Delapan’ adalah yang terbaik;
di antara semua kebenaran,
maka ‘Empat Kebenaran Mulia’ adalah yang terbaik.
Di antara semua keadaan,
maka keadaan tanpa nafsu adalah yang terbaik;
dan di antara semua makhluk hidup,
maka orang yang ‘melihat’ adalah yang terbaik.
Inilah satu-satunya ‘Jalan’.
Tidak ada jalan lain
yang dapat membawa pada kemurnian pandangan.
Ikutilah jalan ini,
yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).
Tidak ada jalan lain
yang dapat membawa pada kemurnian pandangan.
Ikutilah jalan ini,
yang dapat mengalahkan Mara (penggoda).
Dengan mengikuti ‘Jalan’ ini,
engkau dapat mengakhiri penderitaan.
Dan jalan ini pula
yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui
bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).
engkau dapat mengakhiri penderitaan.
Dan jalan ini pula
yang Kutunjukkan setelah Aku mengetahui
bagaimana cara mencabut duri-duri (kekotoran batin).
Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’.
Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki ‘Jalan’ ini
akan terbebas dari belenggu Mara.
para Tathagata hanya menunjukkan ‘Jalan’.
Mereka yang tekun bersemadi dan memasuki ‘Jalan’ ini
akan terbebas dari belenggu Mara.
Kelima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat,
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
(Sutta
Pitaka-Khuddaka Nikaya-Dhammapada Atthakatha(273,274,275,276)
Jalan
Mulia Beruas delapan (Ariya Atthangika Magga):
1. Pandangan Benar (Samma Ditthi)
2. Pikiran Benar (Samma Sankappa)
3. Ucapan Benar (Samma Vaca)
4. Perbuatan Benar (Samma Kammanta)
5. Penghidupan Benar (Samma Ajiva)
6. Usaha Benar (Samma Vayama)
7. Perhatian Benar (Samma Sati)
8. Konsentrasi Benar (Samma Samadhi)
a)
Tujuh tingkat kesucian
Tingkat
kesucian yang dicapai melalui meditasi terdiri dari :
1) Kesucian
sila (sila-visuddhi), mematuhi janji pelaksanaan sila, menjaga keenam pintu
indera, mempertahankan kehidupan yang benar, menggunakan keperluan hidup dengan
bijaksana.
2)
Kesucian pikiran (citta-visuddhi), baik
melalui jalan ketenangan atau jalan pandangan terang, mencapai konsentrasi.
3)
Kesucian pandangan (ditthi-visuddhi),
munculnya pengertian langsung mengenai batin dan jasmani, menandai saat
permulaan lepas dari pandangan yang spekulatif, terutama padangan mengenai
diri.
4)
Kesucian pandangan terang yang mengatasi
keragu-raguan (kankhavitarana-visuddhi), mampu menentukan sifat-sifat dari
timbul dan tenggelamnya agrigrat kehidupan (batin dan jasmani).
5)
Kesucian pandangan terang menyadari apa
yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan
(magga-amaggananadassana-visudddhi).
6)
Kesucian pandangan terang mengetahui
cara praktik (patipadananadassana-visuddhi).
7)
Kesucian pandangan terang
(nanadassana-visuddhi), menunjukan pada sang jaln dan sang hasil.
Pada
tingkat berikutnya tercapai kesucian kebijaksanaan (panna-visuddhi) dan
kesucian kebebasan (vimutti-visuddhi).
b).
Cara pencapaian
setiap orang memerlukan teori
yang berfungsi sebagai peta yang membibingnya menempuh jalan yang benar. Ini
merupakan aspek belajar teori (pariyatti). Berikutnya ia melakukan penyelidikan
dengan mengikuti petunjuk peta. Ini yang dinamakan praktik (patipatti) dengan
itu ia akan memperoleh hasil dari proses belajar yang dinamakan penembusan
(pativedha) (AA.V,33).
Untuk mencapai pencerahan
terdapat berbagai macam-macam latihan atau metode yang dikembangkan oleh
berbagai sekte. Pada dasarnya semua bentuk pelatihan itu tak lain dari
meditasi. Pembacaan berulang-ulang sutta atau mantra atau nama Buddha pun merupakan
sejenis meditasi.
Dalam tradisi Zen, untuk mendapatkan
satori praktiksi sebagai subjek melihat objek dengan masuk kedalam objek
sendiri. Aku dalam diri telah hilang. Tidak seperti aliran soto yang menekankan
za-zen, aliran Rinzai juga mengembangkan tehnik koan dan mondo. Koan (masalah
umum) adalah bentuk tanya jawab yang mengesankan bagai teka-teki tidak logis,
membuat orang mengalami batas-batas kemampuan intelek. Mencari jawaban atas
pertanyaan koan dilakukan dengan za-zen. Mondo adalah dialok antara guru dengan
murid yang berlangsung pendek berfungsi menunjuk ada dan tidaknya pengalaman
satori. Pencapaian kebebasan (vimutti) dibedakan atas :
1)
Melalui kekuatan batin (ceto-vimutti).
2)
Melaui kekuatan kebijaksanaan
(panna-vimutti).
Yang
pertama dicapai oleh mereka yang mengembangkan pandangan terang setelah
mencapai jhana: dengan itu terbebas dari ikatan hawa nafsu. Yang kedua langsung
melalui padangan terang : dengan itu terbebas dari kebodohan (A.1.60).
Pada
kebijaksaan yang timbul melalui pikiran atau perenungan (cintamaya) : ada yang
timbul melaui pendengeran, mendengar khotbah atau pelajaran dari orang lain
(sutamaya) : adapula timbul melalui pengembangan batin (bhavanamaya) (D.III.
209).
Pemusatan
pikiran dapat timbul secara alamnya atau sebagai hasil dari latihan-latihan
tertentu hasil terakhir dari kedua cara tersebut adalah sama, yaitu pikiran
akan terpusat dan siap digunakan untuk melakukan intropeksi. Terdapat sejumlah
bhikkhu yang berhasil menjadi arahat setelah mendengarkan khotbah Buddha.
Contoh : kelima petapa murid Buddha yang pertama setelah mendengarkan babaran
anattalakkagana-sutta tentang tiadanya suntansi inti atau tanpa aku (vin.1,14)
atau seribu bhikkhu yang mendengar adittapariyaya-sutta) atau khotbah Api
(vin.1,35). Suppabuddha seprang penderita kusta mencapai tingkat kesucia
sotapatti ketika mendengarkan khotbah dengan penuh perhatian (DhpA. 66).
(Krishnanda Wijaya-Mukti)
F.
Ajaran
Agama Buddha Bagi Masyarakat Luas
Ajaran Buddha
dewasa ini tetap merupakan kekuatan besar peradaban dalam dunia modern. Sebagai
suatu kekuatan peradaban, ajaran Buddha membangun kehormatan dan rasa tanggung
jawab dari banyak orang dan membangkitkan semangat bangsa. Ajaran Buddha
mendorong kemajuan spiritual dengan menarik daya pikir umat manusia. Ajaran
Buddha meningkatkan rasa toleransi dalam diri orang dengan tetap terbebas dari
kesempitan dan fanatisme agama dan bangsa. Ajaran Buddha memenangkan dan
menjernihkan pikiran para warga Negara. Singkatnya, ajaran Buddha menumbuhkan rasa percaya diri dengan mengajarkan bahwa
seluruh nasib manusia ada dalam tangan kita sendiri, dan bahwa diri kita
sendiri memiliki kemampuan untuk mengembangkan kekuatan dan penglihatan untuk
mencapai tujuan tertinggi.
Salama lebih
dari dua ribu tahun ajaran Buddha telah memuaskan kebutuhan spiritual hampir
seperlima jumlah manusia. Ajaran Buddha tetap berada di antara sumber spiritual
terkaya karena ajaran ini mengangkat upaya manusia ke tingkat yang lebih
tinggi, lebih dari sekedar pengajaran kebutuhan dan nafsu yang tak pernah
terpuaskan. Karena keluasan cara pandangnya, buah dari visi sang Buddha adalah
sesuatu yang lebih dari latihan atau atau penghiburan intelektual yang tak
berguna. Ajaran Buddha tidak menyuguhkan spekulasi verbal dan argument demi
dirinya sendiri.
Ajaran Buddha
itu praktis, rasional, dan menawarkan pandangan yang realistis tentang
kehidupan dan dunia. Ajaran Buddha tidak memikat orang untuk hidup dalam surga
yang konyol ataupun menakut-nakuti dan membuat orang menderita dengan segala
jenis khayalan ketakutan dan perasaan bersalah. Ajaran Buddha juga tidak
menciptakan kefanatikan agama untuk mengusik penganut agama lain. Sikap umat
Buddha terhadap agama lain sungguh luar biasa. Alih-alih mengubah penganut
agama lain menjadi ajaran Buddha, umat Buddha mampu mendorong mereka untuk
mempraktikan agama mereka sendiri karena umat Buddha tidak pernah berfikir
bahwa penganut agama lain adalah orang
buruk. Ajaran Buddha memberitahu kita secara tepat dan objektif apakah diri
kita itu dan apakah dunia di sekitar itu, dan menunjukan kita jalan menuju
kebebasan, kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan sempurna.
Jika umat
manusia saat ini dijauhkan dari tindakan yang bertentangan dengan standar moral
yang diajarkan agama. Ajaran Buddha adalah sarana yang paling efektif. Ajaran
Buddha adalah agama kemanusiaan, yang penemunya adalah seorang manusia yang
tidak mencari pengungkapan atau campur tangan ilahi dalam pembentukan
ajaran-Nya. Pada masa dimana orang bergembira dengan keberhasilan mengendalikan
dunia materi. Manusia mungkin akan meninjau balik pengendalian fenomena
tersulit, yaitu diri sendiri. Dalam tugas inilah, manusia modern akan menemukan
ajaran Buddha sebagai jawaban untuk berbagai masalah dan keraguannya. (Sri
Dhammananda).
Ajaran Buddha dalah jalan hidup yang benar untuk
kedamaian dan kebahagiaan semua mahluk hidup. Ajaran Buddha merupakan suatu
metode untuk lepas dari kesengsaraan dan menemukan pembebasan. Ajaran Buddha
tidak terbatas pada satu bangsa atau ras. Ajaran
Buddha ini juga bukanlah syahadar atau iman semesta. Ini adalah ajaran untuk
seluruh alam semesta. Ini adalah ajaran untuk sepajang masa. Tujuannya adalah
pelayanan yang tidak egois, niat baik, kedamaian, keselamatan, dan pembebasan
dari penderitaan.
Ajaran Buddha
mengandung kebijaksanaan praktis yang tidak dapat dibatasi pada teori atau
filosofi kerena filosofi terutama berhubungan dengan pengetahuan tetapi tidak
peduli dengan penerjemahan pengetahuan dalam praktik sehari-hari.
Ajaran Buddha
menarik bagi bangsa Barat karena ajaran Buddha tidak memiliki dogma dan
memuaskan hati maupun pikiran. Ajaran Buddha berteguh pada keyakinan diri
digabung dengan toleransi terhadap orang lain. Ajaran Buddha mencakup penemuan
ilmiah modern jika di tujukan untuk hal yang membangaun. Ajaran Buddha menunjuk
manusia sendiri sebagai pencipta kehidupannya saat ini dan sebagai perancang
tunggal nasibnya sendiri. Demikianlah sifat ajaran Buddha. Inilah sebabnya
mengapa banyak pemikiran modern yang bukan umat Buddha menggambarkan ajaran
Buddha sebagai suatu agama kebebasan dan akal budi.
Ajaran buddah
sebagai suatu agama talah melayani harapan dan cita-cita manusia dengan baik;
telah membantu perkembanagan mahluk social dengan jalan hidup yang patut
dihargai dan semangat kebersamaan yang ditandai dengan usaha keras menuju
kedamaian dan kebahagiaan. Ajaran Buddha telah menjadi lini depan kesejahteraan
manusia.
Bahkan dalam
politik ajaran Buddha tercatat dalam banayak peristiwa sebagai terobosan besar
bagi keadilan, prosedur demokrasi, dan kehormatan nilai-nilai moral dasar.
Ajaran Buddha telah memberikan cita rasa berbeda bagi budaya Timur. Ajaran
Buddha telah memberikan perilaku etika dasar ke antara masayarakat yang
menyerapnya dalam berbagai bentuk.
Memang potensi
besar ajaran Buddha belum disadari sepenuhnya oleh kebanyakan orang yang telah
menyerapnya sampai batas tertentu. Kapasitas ajaran Buddha untuk meningkatakan
potensi individu dan umum telah dikalahkan oleh sumbangsih ajaran Buddha dalam
bidang seni dan literature. Tetapi satu aspek ajaran Buddha yang tetap merupakan
hal yang penting sepanjang sejarahnya adalah pada rasionalismenya. Akal budi,
walaupun sering dilanggar, adalah sesuatu yang dimiliki manusia, untuk membuat
manusia beradab, tak peduli betapa kaburnya hal itu dengan segi-segi sifat
manusia lainnya seperti emosi. Ajaran Buddha akan terus mendesak menusia
menjadi mahluk berakal budi, diatur oleh pikiran, tetapi juga member
pertimbangan pada hati.
Sumbangsih sang
Buddha terhadap kemajuan sosial dan spiritual umat manusia sangatlah lauar
biasa bahwasanya pesan-Nya yang menyebar ke seluruh dunia mendapatkan kasih dan
perhatian orang-orang dengan rasa hormat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baik untuk diketahui bahwa ajaran Buddha tidak memilih orang dengan mengikuti
mereka untuk mengubah mereka dengan janji-janji surga. Orang-oranglah yang
memilih agama Buddha.
Ada beberapa
orang yang percaya bahwa ajaran Buddha adalah sistem yang sangat luhur dan
mulia sehingga tidak dapat dipraktikan oleh pria dan wanita biasa dalam dunia
kerja saat ini. Mereka berfikir bahwa orang harus mengendurkan diri ke suatu
vihara atau tempat sunyi jika ingin menjadi umat Buddha sejati.
Ini adalah
kesalah pahaman yang menyedihkankan akibat kurangnya pemahaman jalan hidup umat
Buddha. Orang pada kesimpulan semacam itu setelah menbaca atau mendengar
sesuatu tentang ajaran Buddha secara sepintas. Beberapa orang membangun kesan
mereka tentang ajaran Buddha setelah membaca artikel atau buku hanya memberi
pandangan atau sebagian berat sebelah tentang ajaran Buddha. Pengarang artikel
dan buku semacam itu hanya memiliki pemahaman yang terbatas tentang ajaran
Buddha. Ajaran-Nya tidak dimaksudkan hanya untuk anggota sangha dan vihara.
Ajaran itu juga untuk pria dan wanita biasa yang hidup di rumah bersama
keluarga mereka. Jalan Ariya Beruas Delepan adalah jalan hidup Buddhis bagi
semua orang. Jalan hidup ini ditawarkan bagi seluruh umat manusia tanpa
perbedaan apapun. Ketika keempat aspek kehidupan, yaitu kehidupan keluarga,
bisnis, sosial, dan spiritual diselaraskan secara memuaskan, kebahagiaan akan
diperoleh.
Mayoritas orang
di dunia tidak dapat menjadi bhikkhu atau mengundurkan diri kedalam gua atau
hutan. Betapa pun mulia yang sucinya ajaran Buddha hal ini tidak berguna bagi
khayalak jika mereka tidak dapat mengikutinya dalam dunia modern. Namun jika
anda memahami semangat ajaran Buddha dengan benar, anda tentu dapat mengikuti
dan mempraktikan sembari menjalani hidup sebagi orang biasa.
Mungkin ada
sebagian orang yang merasa lebih muda dan nyaman untuk menjalani agama Buddha
dalam hidup di tempat terpencil dengan kata lain, dengan menarik diri mereka
dari masyarakat luas. Tetapi orang lain merasa bahwa jenis pengasingan semacam
ini membosankan dan menekankan seluruh diri mereka, baik fisik maupun mental
dan kerenanya hal ini mungkin tidak kunduksif bagi pengembangan hidup spiritual
dan intelektualnya.
Pengasingan
sejati bukan berarti melarikan diri secara fisik dari dunia. Sariputta murid
utama sang Buddha, berkata bahwa seseorang dapat hidup dalam hutan mengabdikan
diri pada praktik petapa, tetapi mungkin penuh dengan pikiran yang tidak murni
dan cemaran. Orang lain mungkin hidup di sebuah desa atau kota, tidak
mempraktikkan disiplin petapa, tetapi pikirannya murni dan bebas dari cemaran.
“dari kedua orang ini,” kata sariputta, “orang yang menjalani hidup murni di
desa atau kota tentunya jauh lebuh unggul dan mulia dari pada orang yang hidup
di hutan. “(Majjhima Nikaya).
Kepercayaan umum
bahwa untuk mengikuti ajaran budhha orang harus mengundurkan diri dari
kehidupan keluarga normal adalah suatu kesalah pahaman. Hal ini benar-benar
merupakan pertahanan yang tak disadari menentang praktiknya. Adalah sebuah
rujukan dalam literatur buddhis bagi orang-orang yang menjalani kehidupan
keluarga normal dan lumrah yang dengan sukses mempraktikan apa yang di ajarkan
sang Buddha dan menyadari nibbana. Vacchagotta si pengembara, pernah bertanya
pada sang Buddha secara langsung apakah ada orang awam yang menjalani hidup
berkeluarga yang mengikuti ajarannya dengan sukses dan mencapai tingkat spiritual
yang tinggi sang Buddha menyatakan bahwa ada banyak orang awam yang menjalani
hidup berkeluarga yang telah mengikuti ajarannya dengan sukses dan mencapai
tingkat spiritual yang tinggi.
Orang tertentu
mungkin setuju unutk menjalani hidup pengasingan dalam tempat jauh dari
kebisingan dan gangguan. Tetapi tentunya lebih patut dipuji dan brani jika
mempraktikan ajaran Buddha dengan hidup diantara manusia biasa, membantu mereka
yang mengeluarkan jasa pada mereka. Mungkin berguna dalam kasus tertentun jika
seseorang hidup dalam pengasingan selama waktu tertentu untuk meningkatkan
pikiran dan perangaiannya senang suatu awal dari pelatihan moral, spiritual,
intelektual, agar menjadi cukup kuat untuk suatu saat keluar dan menolong orang
lain. Tetapi jika seseorang menjalani seluruh hidupnya dalam pengasingan, hanya
memikirkan kebahagian dan keselamatannya sendiri, tanpa peduli pada sesama, hal
ini tentunya tidak sesuai dengan ajaran Buddha yang didasarkan pada cinta,
belas kasih, dan pelayanan bagi orang lain.
Orang mungkin
kuni bertanya, “jika seseorang bisa mengikuti ajaran Buddha dengan menjalani
hidup sebagai orang biasa, mengapa sangha, persamuan bhikkhu didirikan oleh
sang Buddha? .“ persamuan ini menyedikan kesempatan bagi mereka yang ingin
mengabdikan hidup mereka buakan hanya untuk pengembangan spiritual dan
intelektual mereka sendiri, tetapi juga untuk melayani orang lain. Seseorang
umat awam dengan keluarga yang tidak dapat diharapakan untuk mengabdikan
seluruh hidupnya untuk melayani orang lain, sedangkan seorang bhikkhu, yang
tidak memiliki tanggung jawab keluarga atau ikatan duniawi lainnya. Berada
dalam posisi lebih leluasa untuk mengabdikan hidupnya bagi kebaikan banyak
orang (Dr.Walpola Rahula).
Dan apakah
kebaikan yang dapat mengutungkan banyak orang ini? Bhikkhu tidak dapat memberi
kenyamanan materi bagi orang awam, tetapi mereka dapat menyediakan bimbingan
spiritual bagi mereka yang disulitkan oleh masalah duniawi, keluarga,
emosional, dan sebagainya. Bhikkhu mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan dhamma
seperti yang diajarkan oleh sang Buddha.
Mereka menjelaskan ajaran itu dalam bentuk yang disederhanakan kepada
orang awam yang tak terlatih. Dan jika orang awam ini terpelajar, mereka ada
untuk mendiskusikan aspek yang lebih dalam dari ajaran itu sehingga keduanya
mendapat sesuatu secara intelektual dari diskusi itu.
Di Negara-negara
buddhis, sangha sangat bertanggung jawab untuk pendidikan generasi muda. Akibat
sumbangsih mereka, Negara-negara buddhis memiliki populasi dengan angka
litelasi tinggi dengan berpengetahuan baik dalam nilai-nilai spiritual. Sangha
juaga memberikan pemahaman kepada mereka yang kehilangan dengan menjelaskan
bahwa umat manusia adalah subjek gangguan yang sama.
Sebaliknya, umat
awam diaharapkan memperhatikan kesejahteraan material sangha yang tidak mencari
penghasilan bagi diri mereka diri untuk menyedikan makanan, tempat bernaung,
obat, dan pakaian. Dalam praktis buddhis dalam umumnya, umat awam dianggap
berjasa jika berperang dalam kesejahteraan sangha karena dengan demikian sangha
untuk terus melayani kebutuhan masyarakat dan mengembangkan kemurnian mental
mereka sendiri. (Narada).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tujuan
hidup adalah untuk mencapai akhir penderitaan atau ketidakpuasan. Tujuan hidup
manusia, selain untuk melangsungkan keturunan dan memperoleh kemajuan hidup,
maka yang terpenting adalah untuk mencapai tujuan akhir yakni Nibbana, yaitu
suatu keadaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha, serta suatu keadaan yang
pasti setelah melenyapkan keinginan-keinginan. Nibbana adalah padamnya
keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, dan kotoran-kotoran batin.
B. Saran
Untuk
memahami tujuan hidup sebenarnya, kita disarankan untuk memilih dan mengikuti
sistem etika-moral yang menahan kita dari perbuatan buruk, mendorong berbuat
baik, dan memungkinkan pemurnian batin. Dengan agama sebagai tolak ukur, dalam
pencapaian kesucian.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhammananda, Sri. 2005. Keyakinan Umat Buddha.
Jakarta : Ehipassiko Foundation.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2006. Wacana Buddha Dharma. Jakarta : Yayasan
Dharma Pembangunan.
Narada, Ven. 1998. Sang Buddha dan Ajaran-ajaranNya. Bagian
II. Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama.
Virana.2008. Keyakinan Umat Buddha (Menjadi Buddhis Sejati). Jakarta :
Ensiklopedia Buddha Dhamma.
0 komentar:
Posting Komentar