PERILAKU BENAR MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

PERILAKU BENAR MENURUT
PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Oleh : Duty Metta Setyani

Sebagian besar umat Buddha hidup keduniawian (awam) dalam tatacara agama Buddha disebut perumah tangga, maksudnya hidup berkeluarga dan mencari nafkah. Bila seseorang telah mengakui Buddha sebagai guru, dhamma sebagai tuntunan hidupnya serta Sangha (perserikatan para bhikkhu) sebagai pemelihara dhamma, maka orang tersebut adalah umat Buddha. Perilaku sebagai umat Buddha hendaknya mencerminkan kepribadian yang bersifat sesuai dengan Dhamma Agung Sang Buddha. Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), Mudita (simpatik-ikut gembira menyaksikan kegembiraan pihak lain) serta Upekkha (keseimbangan batin) merupakan dasar utama perilaku ini.
Dalam kehidupan sehari-hari kita harus benar-benar mengerti dan menghayati arti kelima tekad yang tercantum dalam Pancasila Buddhis.

Perbuatan Benar merupakan bagian dari Kelompok Moralitas (sila) dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam praktik ajaran ini, disiplin moral (sila) menempati urusan yang paling dasar sekaligus penting sebagai fondasi bagi latihan konsentrasi/ meditasi (samadhi). Tanpa displin moral yang baik, kebijaksanaan tidak akan tumbuh.

Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah salah satu ajaran Buddha yang paling penting. Untuk mencapai kebahagiaan sejati, kedamaian sesungguhnya atau Nibbana, praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan ini harus disempurnakan. Tanpa melaksanakan ajaran ini atau yang selaras dengan ajaran Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, kedamaian sesungguhnya tidak akan diperoleh. Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah satu jalan dengan delapan unsur atau faktor. Masing-masing unsur dalam Jalan Mulia ini tidaklah berdiri sendiri. Semuanya saling terkait dan terhubung bagaikan jaring laba-laba. Jalan Mulia Berunsur Delapan terdiri dari tiga kelompok utama, yaitu : memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya benar, perhatian/perenungan benar, dan konsentrasi benar.

Perilaku kehidupan sebagai umat Buddha tidak sepantasnya bertentangan dengan tatanan moralitas yang telah digariskan oleh Sang Buddha. demi ketentraman masyarakat, demi kemajuan setiap insan dalam mencapai tujuan terakhir umat Buddha, yaitu Nibbana. Kelima Sila termaksud yaitu berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan, berusaha untuk tidak mencuri, berusaha untuk tidak melakukan hubungan intim yang salah, berusaha untuk tidak berbohong serta berusaha untuk tidak makan atau minum yang menyebabkan hilangnya kesadaran (mabuk).

Hal tersebut berarti bahwa perbuatan seseorang dikatakan benar, sejalan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan, apabila kriteria tersebut telah terpenuhi. Esensi di balik hal tersebut adalah, selama suatu tindakan tidak didasari oleh keserakahan, kebencian atau ketidaktahuan, maka dikatakan sebagai perbuatan benar. Sebaliknya, apabila ada unsur keserakahan, kebencian atau ketidaktahuan maka perbuatan tersebut dikatakan salah.

Pancasila merupakan dasar perilaku manusia. Dengan menaati pancasila, kita dapat memiliki pikiran yang terang, jernih dan saleh. Kita akan memiliki hidup yang bahagia dan penuh percaya diri. Semoga semua tekun berlatih pancasila dan sebaik-baiknya sebagai manusia dengan bekerja keras untuk mencapai kedamaian.
"… Bukan karena kelahiran seseorang menjadi tidak mulia atau hina, Bukan karena kelahiran seseorang menjadi mulia, Tetapi perbuatan atau tingkah lakulah yang menentukan seseorang hina atau mulia…" (Vasala Sutta, Sutta Nipata 136)

“… Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum, demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya…(Dhammapada 52).
Pancasila adalah penerapan khusus dan pribadi dari aturan perbuatan baik. Kalau dilaksanakan secara menyeluruh akan menghasilakn terbentuknya masyarakat yang ideal. Bahkan kalaupun oleh pribadi dan secara sebagian. Pancasila mneyediakan dasra bagi kebahagiaan sekarang dan yang akan datang. Hal ini karena pancasila dilaksanakan akan mencegah penyebaran tindakan tidak baik dari tubuh, ucapan, dan pikiran yang mengakibatkan penderitaan menurut hukum kamma. Oleh karena itu bila dengan melaksanakan sila-sila itu orang menghindari pembunuhan, pencurian, prilaku seks yang salah dan berbohong, orng menjga dirinya supaya tidak menderita dari perbuatannya seperti pedek umur, kemelekatan, atau kesengsaraan perkawinan dan seterusnya, yang merupakan akibat dari tindakan-tindakan tidak baik itu. Dengan demikian pembunuhan semut ataupun nyamuk atau musuh pada masa perang, walaupun masih merupakan unsur dari sila pertama, mungkin tidak membawa akibat kamma yang penuh karena kondisi dimana hal itu terjadi.
Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk membatasi kebebasan, karena pancasila dapat melindungi kita sepanjang dijalankan dengan baik. Melanggar salah satu petunjuk dari pancasila bukan berarti dosa yang tidak dapat dimaafkan, itu dilihat sebagai tindakan keliru karena kurangnya kebijaksanaan. Pada awalnya, umat perumah-tangga mungkin mengalami kesulitan untuk menjalankan pancasila secara lengkap dan berkesinabungan. Tetapi hendaknya hal itu tidak melemahkan semangat. Bahkan jika seseorang hanya dapat menjalankan satu atau dua petunjuk dari pancasila dengan baik, orang itu tlah meletakan dasar untuk kebahagian di masa sekarang dan yang akan datang, seseorang dapat mengulang tekadnya menjalankan pancasila tiap harinya untuk mengingatkan dirinya pada cara hidup yang ideal yang seharusnya dijalankan.
“Sila” dalam agama Buddha sering diterjemahkan sebagai “moral, kebajikan, atau perbuatan baik.” Ajaran Buddha tentang sila adalah etika Buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku yang baik. Menurut kosakata bahasa Pali, “sila” dalam pengertian luas padanannya adalah “etika” dan dalam pengertian sempit padanannya adalah “moral”.

Landasan moral dalam agama Buddha pada dasarnya bukan berupa perintah atau peraturan, melainkan pengertian yang mendalam tentang apa yang baik dan apa yang buruk terkait dengan sebab dan akibat (kamma). Fakta sederhana bahwa etika umat Buddha berakarkan hukum alam membuat prinsip-prinsipnya bermanfaat dan dapat diterima oleh dunia modern.

Menurut bentuknya sila dibedakan atas dua aspek perumusan, yaitu : negaif (varitta-sila) dan positif (caritta-sila). Yang pertama penolakan terhadap perbuatan yang buruk, dan yang kedua merealisasikan perbuatan yang baik. Setiap rumusan sila mengandung aspek yang berpasangan dan saling bergantungan. Kedua aspek itu jelas terlihat pada ajaran semua Buddha : “Jangan berbuat jahat; perkembangkan perbuatan yang baik; sucikan hati dan pikiran” (Dhammapada 183). Perumusan sila yang bersifat pantangan tidak bisa dikatakan pasif. Menghindari perbuatan jahat, memiliki sisi lain, yaitu melakukan kebajikan.

Secara detail pola perumusan ini antara lain ditemukan dalam Brahmajala-sutta. “Petapa Gotama menghindari pembunuhan, ia membuang pentungan dan pedang, dan malu melakukan kekerasan. Dengan penuh cinta kasih, ia hidup mengasihi dan menyayangi semua makhluk” (D. I, 4). Aspek negative menghindari pembunuhan dan aspek positif menyanyangi atau menghargai kehidupan semua makhluk. Aspek negative merupakan pendahuluan dari aspek positif, menyiapkan lahan yang baik untuk aspek positif. Seumpama menanam padi di sawah terlebih dahulu harus membersihkan sawah dari rumput, agar padinya dapat tumbuh dengan baik dan member hasil yang diharapkan.

Sila terkait dengan kamma dan sebab akibat. Sila yang baik membuahkan kebahagiaan dan pelanggaran sila menimbulkan penderitaan.  Sila berguna untuk orang-orang pribadi, yaitu melindungi orang yang melaksanakan, membuatnya menjadi manusia halus budi dan sempurna, yang mampu melepaskan diri dari penderitaan. Dalam kehidupan bermasyarakat, sila mengendalikan nafsu indera sekaligus mengendalikan hubungan antarmanusia. “Bagai seorang gembala dengan tongkat mengawasi ternak-ternaknya, sehingga mereka tidak berkeliaraan dan merusak tanaman orang lain.” (Mahaparinirvanapacchimovada-sutra).

Sila merupakan tahap permulaan untuk memasuki kehidupan yang lebuh luhur dan orang yang melaksanakannya akan memperoleh kebahagiaan duniawi dan surgawi. Dalam Mahaparinibbana-sutta di hadapan para perumah tangga Buddha mengemukakan manfaat dari pelaksanaan sila : (1) membuat orang bertambah kaya; (2) mendatangkan nama baik; (3) menimbulkan percaya diri dalam pergaulan dengan berbagai golongan manusia; (4) member ketenangan disaat kematian; (5) setelah meninggal dunia, akan terlahir kembali kedalam surga (D. II, 86).

Faedah dari pelaksanaan sila terutama adalah tiadanya penyesalan(avippatisaro) sebagai tujuan dan buahnya (A. V, 1). Dengann memiliki sila seseorang akan dicintai, dihormati dan dihargai oleh orang lain (M. I, 33).

Kabajikan seseorang tidak tergantung kepada penampilan luar (badan, wajah, atau keturuunan), akan tetapi tergantung dari perilaku (kamma) oramg tersebut. Perbuatan baik dapat diumpamakan seperti tumbuhnya pohon, pohon akan tumbuh dengan baik bila disokong dengar air, udara, pemupukan serta pemeliharaan dengan baik. Demikian pula perbuatan baik (sila) akan dapat dilaksanakan dengan baik didasarkan kepada faktor Sati dan Sampajanna serta Hiri dan Ottapa.

1. Sati

            Sati artinya cetusan keadaan batin, misalnya cetusan batin untuk membaca buku. Dalam pelaksanaan Dhamma dan aktivitas sehari-hari sati dimaksudkan sebagai ingatan, perhatian, kewaspadaan, serta kesadaran sebelum melakukan perbuatan. Lawan dari sati adalah “lupa”. Agar tidak melalaikan pekerjaan karena lupa maka sati harus dijaga setiap saat. Contoh sati dalam kehidupan sehari-hari adalah :

1.                  Si A ingat bahwa membuang sampah sembarangan adalah karma buruk.
2.                  Si B ingat bahwa menyelewengkan uang SPP adalah termasuk mencuri.
3.                  Si C ingat bahwa mencontek adalah perbuatan bodoh, dll.

Sati merupakan factor yang snagta penting untuk mendukung sila (perbuatan baik) seseorang. Orang yang tidak memiliki sati atau kehilangan sati diibaratkan seperti orang yang “sakit jiwa” karena orang yang sakit jiwa Citta (pikiran) nya dapat bekerja, tetapi sati (ingatan) nya tidak dapat bekerja sehingga tidak mempunyai pengendalian diri.

Sati sebenarnya tidak mudah luntur walaupun kita sakit bertahun-tahun, tidak makan berhari-hari, bekerja keras, dan lain-lain. Sati akan luntur dan hilang dari diri seseorang, jika ia minum minuman keras dan sejenisnya. Larangan untuk tidak minum minuman keras dan sejenisnya adalah penegasan pentingnya sati dalam kehidupan sehari-hari. Sati dapat dikembangkan drngan berbagai cara, misalnya dengant membuat buku catatan harian, memasang bel, memasang/menempel kertas di suatau tempat, menghindari barang-barang yang memabukkan, melakukan meditasi perenungan, dll.

2. Sampajanna

Sampajanna yaitu muncul kesadaran ketika sedang melakukan kegiatan. Dhamma ini sangat membantu untuk tumbuhnya kabaikan sama seperti halnya sati. Pada umumnya kesadaran demikian membawa manfaat, misalnya mereka menyadari bahwa mereka sedang melakukan kejahatan dan berusaha melakukan sebaik mungkin serta berhati-hati. Mereka menyadari bahwa mereka sedang berbohong dan berusha agar pembicaraan itu dipercaya oleh orang lain.

Sampajanna yang dimaksudkan disini adalah bukan kesadaran ketika melakukan kejahatan, tetapi kesadran yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Jenis kesadaran ini (sampajanna) adalah bila disertai dengan empat cirri dari Sampajanna yaitu:

1)                  Menyadari manfaat yang sedang kita lakukan.
2)                  Menyadari bahwa apa yang sedang kita lakukan sesuai atau tidak dengandiri kita sendiri.
3)                  Menyadari bahwa apa yang kita lakukan akan menimbulkan suka atau duka.
4)                  Menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu merupakan suatu kebodohan atau didasari pengertian yang benar.

Keempat faktor kesadaran tersebut merupakan faktor dari sampajanna dan memberikan kesadaran bagi kita untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, tidak sesuai dengan posisi kita, serta dengan cara yang keliru. Dengan adanya kesadaran ini maka kita dapat menyesuaikan diri dan menambah kebajikan. Bila tidak memiliki kesadaran maka dapat terjadi hal-hal misalnya seperti, murid-murid tidak akan naik kelas jika selalu melamun dan tidak mengerti apa yang diajarkan guru.

3. Hiri

Hiri bersumber dari dalam diri sendiri, bersifat otonom, timbul sendiri, berbentuk rasa malu, ditandai adanya sifat konsisten dengan kebenaran, sumber subyektif dari hiri adalah pandangan dari ide-ide yang berhubungan dengan kelahiran (misalnya saya lahir dari keluarga baik-baik maka seharusnya malu untuk berbuat jahat), usia (misalnya saya sudah dewasa mka saya malu untuk berbuat kejahatan), kedudukan sosial (misalnya saya adalah seorang pelajar maka saya malu kalau melakukan kejahatan), kehormtan diri (misalnya saya adalah orang yang dihargai masyarakat saya akan malu kalau sya berbuat jahat), dan tingkat pendidikan (misalnya saya adalah orang yang berpendidikan maka saya malu kalau saya melakukan kejahatan).

Maka seseorang yang memilik hiri akan berfikir “hanya orang-orang bodoh, anak-anak dan orang yang tidak perpendidikan yang tidak memiliki rasa malu untuk berbuat jahat”. Oleh karena itu saya akan menghindari pendangan yang salah dan melakukan perbuatan baik. Dengan hiri, seseorang bercermin kepada kehormatan dirinya, kelahirannya, gurunya, kedudukannya, pendidikannya, atau masyarakat dimana berada. Apabila seseorang memiliki hiri, maka dirinya sendirilah yang paling tepat menjadi guru dan pengawasnya yang terbaik.

4. Ottapa

Ottapa yang berarti memiliki rasa takut untuk berbuat jahat lebih bersumber dan dipengaruhi oleh hal-hal luar diri kita, bersifat heteromus, lebih dipengaruhi oleh lingkungan dan masyarakat. Jika hiri terbentuk oelh rasa malu, tetapi ottapa dibentuk oleh rasa takut. Ottapa ditandai dengan adanya kemampuan mengenal bahaya dan takut melakukan kesalahan.

Sumber eksternal dari ottapa adalah pandangan dan ide-ide bahwa sesuatu yang “berkuasa” akan mempersalahkannya, maka ia menghindari perbuatan yang salah. Dengan ottapa, seseorang takut pada dirinya sendrir, takut dipersalahkan orang lain, dll. Apabila seseorang lebih sensitive terhadap ottapa, maka sebaiknya mengikuti bimbingan dan peraturan dari seseorang ataupun dari suatu ajaran yang baik yang diyakininya.

Perilaku benar menurut padangan agama Buddha pada dasarnya adalah perilaku yang sesuai dengan aturan moral atau sila yaitu pancasila. Untuk menunjang pelaksanaan sila pada diri seseorang. Hiri dan ottapa akan sangat membantu. Hiri adalah perasaan malu, sikap batin yang merasa malu bila melaksanakan kesalahan atau kejahatan.  Ottapa artinya enggan berbuat salah atau jahat. Sikap batin yang merasa enggan atau takut akan akibat perbuatan salah atau jahat yang akan dilakukan. Hiri dan Ottapa merupakan sebab terdekat timbulnya sila.

“… Ada dua hal yang jelas, oh Bhikkhu, untuk melindungi dunia. Malu dan takut, bila kedua dhamma ini tidak menjadi pelindung dunia, maka seseorang tidak akan mengharagai ibunya, tidak menghargai bibinya, tidak menghargai kakak iparnya, tidak menghargai istri gurunya…” (Anguttara nikaya II, 7)

Jika seseorang memiliki rasa malu untuk berbuat jahat niscaya sekecil apapun perbuatan yang dilakukan akan disertai kehati-hatian, ia selalu menjaga dengan penuh kewaspadaan agar apapun yang dilakukan tidak membuatnya tercela. Demikian pula jika seseorang memiliki rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat maka segala perbuatan yang dilakukan sekecil apapun akan selalu mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan sehingga pikiran, ucapan dan perbuatannya tidak merugikan siapapun. Dalam Dhammapada dituliskan akibat dari melakukan kejahatan adalah penderitaan. Buddha bersabda:

“… semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan akan kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan dirinya, hendaklah seseorang tidak membunuh atau menyebabkan terjadinya pembunuhan …” “(Dhammapada.129)

Suatu perbuatan yang menghasilkan penyesalan, dan mengakibatkan ratapan tangis dan air mata adalah perbuatan yang tidak baik (akusalakamma), tetapi jika suatu perbuatan yang tidak mengakibatkan penyesalan dan menyebabkan kegemberiaan dan kebahagiaan, maka itu adalah suatu perbuatan yang baik (kusalakamma).

Bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari, kita pada umumnya berkehendak dulu sebelum melakukan suatu tindakan; oleh karenanya, dengan berdasarkan Azas moral yang sesuai dengan Ajaran, kita hendaknya memasukan kehendak-kehendak yang baik terlebih dahulu pada setiap rencana tindakan kita sebelum melaksanakannya. Apabila suatu tindakan memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang menjauhkan diri kita dari jalan Nibbana, menyebabkan diri kita dan orang lain menderita, dan juga termasuk suatu tindakan yang didasari oleh kehendak negatif seperti Kebencian, Keserakahan,
Kesombongan dan sebagainya; itulah yang disebut tidak baik atau salah. Tetapi sebaliknya jika suatu tindakan memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang mendekatkan diri kearah Nibbana, tidak menyebabkkan penderitaan bagi diri kita sendiri dan orang lain, dan juga termasuk suatu tindakan yang didasari dengan kehendak yang positif seperti Cinta Kasih, Kemurahan Hati, dan sebagainya, itulah yang disebut sebagai yang baik dan benar. Berdasar hanya salah satu dari azas diatas saja tidaklah cukup untuk menilai apakah suatu tindakan baik atau buruk, tapi ketiganya merupakan suatu kesatuan atau kemanunggalan yang tepat untuk dijadikan sebuah petunjuk untuk berpikir, berbicara dan bertindak. Menjadi baik dalam pandangan buddhisme tidak sekadar mematuhi suatu perintah-perintah; tapi juga perlu bahwa kita memikirkan tujuan atau sasaran kita, bahwa kita bermawas diri dalam berpikir, berbicara dan bertindak dalam agar supaya kita menjadi peka dalam hubungan diantara sesama.
Secara singkat diperlukan akal budi dan pengertian. Dengan demikian adalah sangat tepat bila dikatakan bahwa Buddha Dhamma meletakkan dasar pada moralitas. Dalam membicarakan kebajikan, adalah penting ditekankan bahwa Buddha Dhamma meletakkan dasar pada Moralitas. Dalam membicarakan kebajikan, adalah penting ditekankan bahwa Buddha Dhamma mengajarkan keunggulan dari Kebajikan daripada Kejahatan. Beberapa ajaran lain mengajarkan secara alami setiap orang pada dasarnya berdosa, dan bahwa manusia dengan kekuatan sendiri tidak akan mampu menjadi baik, dan bahwa hanya dapat ditolong dengan memohon belas kasih dari Makhluk Adikodrati tertentu. Pemahaman Buddha tentang ciri alami manusia sangat berbeda dari pandangan pesimis dari Ajaran-ajaran lain. Kebaikan atau kebajikan adalah lebih kuat daripada kejahatan.

Ulasan ajaran Buddha mengenai Perbuatan Benar jelas membicarakan suatu etika. Dengan memahami etika secara baik maka seseorang akan mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan dan apa yang tidak harus dilakukan. Jika sesuatu itu membawa ketenangan dan kebahagiaan maka harus dilakukannya dan terus mengembangkannya.

“… Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil, dengan berkata: “Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat.” Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan …” (Dhp.122)

Menurut ajaran Buddha, suatu perbuatan itu dikatakan baik atau buruk tergantung pada keadaan pikiran pelaku saat perbuatan tersebut dilakukan. Jadi, kriteria dasar etika Buddhis bukanlah teologis, melainkan psikologis. Dalam tataran praktis, ada tiga azas untuk mengetahui dan membatasi apa yang baik dan apa yang buruk. Ketiga azas tersebut adalah:

1.      Asas Tujuan

Azas tujuan adalah mengetahui suatu perbuatan baik atau buruk berdasarkan pada tujuan. Tujuan akhir Buddhis adalah Nibbana, yaitu lenyapnya nafsu (keserakahan, kemelekatan), lenyapnya kebencian, dan lenyapnya kebodohan (ketidaktahuan, kekelirutahuan) [Jambukhādakasayutta, SN 38.1]. Berdasarkan hal ini, maka apabila kita melakukan suatu perbuatan yang dapat melemahkan nafsu, kebencian dan kebodohan, maka perbuatan tersebut dikatakan baik, seperti berdana dan membantu tetangga sekitar. Suatu perbuatan dikatakan netral apabila tidak menambah serta tidak pula melemahkan nafsu, kebencian dan kebodohan. Contoh perbuatan netral adalah berjalan, berpikir mengenai asal muasal alam semesta, dan tidur.

2.      Asas Hasil Akibat

Azas hasil akibat adalah mengetahui suatu perbuatan baik atau buruk berdasarkan hasil akibat suatu perbuatan. Buddha mengatakan, “Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang menyesal dan akibatnya membuat ratapan dan air mata, maka perbuatan itu tidak baik. Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, berakibat kegembiraan dan kepuasan, maka perbuatan itu baik.” (Dhp. 67-68)

3.      Asas Universalitas

Azas universalitas adalah mengetahui suatu perbuatan baik atau buruk berdasarkan penerimaan secara umum, yaitu bahwa semua manusia menghindari dan tidak ingin menderita dan semua orang mendambakan kebahagiaan. Hal tersebut berarti kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang membuat saya menderita berarti orang lain juga tidak ingin. Jadi, azas universalitas ini berarti bahwa kita seharusnya tidak melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan orang lain lakukan kepada diri kita.

Azas-azas tersebut semuanya sebagai panduan kita dalam menilai perbuatan kita sendiri, bukan menilai atau menghakimi perbuatan orang lain. Pada dasarnya, semua perbuatan baik bersumber dari kehendak atau niat kita. Selama bersumber dari niat-niat negatif, jelas perbuatan tersebut dikatakan perbuatan buruk, sebaliknya juga demikian.
























Referensi :

Wijaya-mukti,krishnanda.2003. Wacana Buddha Dhamma.Jakarta. Penerbit: Yayasa
Dharma Pembangunan.

Tim penyusun. 1989. Kitab Suci Dhammapada. Surabaya. Penerbit : Bodhimandala Rumah Suci.

Gunawan. Tahun tidak diketahui. Dharma dalam kehidupan sehari-hari. Jakarta. Penerbit: Dharmasagara.

Departemen agama RI.2005. Sutta pitaka majjhima nikaya V. Surabaya. Penerbit: paramita Surabaya.

Departeman agama RI. 2003. Buku pelajaran agama Buddha. Jakarta. Penerbit:
direktorat jendral bii,bimbingan masyarakat hindu dan Buddha.

Suandika. 2006. Buku pelajaran pendidikan agama Buddha. Surabaya. Penerbit:
Paramita Surabaya.

Rofianto,anas.2005. Buku pelajaran Agama Buddha. Surabaya. Penerbit: Paramita
Surabaya.

Tim penyusun. 1992. Sutta Pitaka Digha Nikaya. Jakarta. Penerbit : C.V. Danau Batur.

Tim Penerjemah. 1990. Brahmajala Sutta. Tidak diketahui. Penerbit : Arya Surya
Candra.

Wijya, Willy Yandi. 2012. Perbuatan Benar. Yogyakarta. Penerbit : In Sight Vidyasena
Production.

Basuki, D.Henry. 2000. Perilaku sebagai Umat Buddha. (Online),
buddha/436653238705). Diakses 15 Maret 2015.








Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel PERILAKU BENAR MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA ini dipublish oleh Unknown pada hari Rabu, 24 Juni 2015. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 1komentar: di postingan PERILAKU BENAR MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA
 

1 komentar: