PERILAKU BENAR MENURUT
PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Oleh :
Duty Metta Setyani
Sebagian
besar umat Buddha hidup keduniawian (awam) dalam tatacara agama Buddha disebut
perumah tangga, maksudnya hidup berkeluarga dan mencari nafkah. Bila seseorang
telah mengakui Buddha sebagai guru, dhamma sebagai tuntunan hidupnya serta
Sangha (perserikatan para bhikkhu) sebagai pemelihara dhamma, maka orang
tersebut adalah umat Buddha. Perilaku sebagai umat Buddha hendaknya
mencerminkan kepribadian yang bersifat sesuai dengan Dhamma Agung Sang Buddha.
Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), Mudita (simpatik-ikut gembira
menyaksikan kegembiraan pihak lain) serta Upekkha (keseimbangan batin)
merupakan dasar utama perilaku ini.
Dalam kehidupan sehari-hari kita harus benar-benar mengerti dan menghayati arti kelima tekad yang tercantum dalam Pancasila Buddhis.
Dalam kehidupan sehari-hari kita harus benar-benar mengerti dan menghayati arti kelima tekad yang tercantum dalam Pancasila Buddhis.
Perbuatan Benar merupakan bagian dari
Kelompok Moralitas (sila) dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam
praktik ajaran ini, disiplin moral (sila) menempati urusan yang paling
dasar sekaligus penting sebagai fondasi bagi latihan konsentrasi/ meditasi (samadhi).
Tanpa displin moral yang baik, kebijaksanaan tidak akan tumbuh.
Jalan
Mulia Berunsur Delapan adalah salah satu ajaran Buddha yang paling penting.
Untuk mencapai kebahagiaan sejati, kedamaian sesungguhnya atau Nibbana,
praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan ini harus disempurnakan. Tanpa
melaksanakan ajaran ini atau yang selaras dengan ajaran Jalan Mulia Berunsur
Delapan ini, kedamaian sesungguhnya tidak akan diperoleh. Jalan Mulia Berunsur
Delapan adalah satu jalan dengan delapan unsur atau faktor. Masing-masing unsur
dalam Jalan Mulia ini tidaklah berdiri sendiri. Semuanya saling terkait dan
terhubung bagaikan jaring laba-laba. Jalan Mulia Berunsur Delapan terdiri dari
tiga kelompok utama, yaitu : memiliki pandangan benar, pikiran benar, ucapan
benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya benar,
perhatian/perenungan benar, dan konsentrasi benar.
Perilaku
kehidupan sebagai umat Buddha tidak sepantasnya bertentangan dengan tatanan
moralitas yang telah digariskan oleh Sang Buddha. demi ketentraman masyarakat,
demi kemajuan setiap insan dalam mencapai tujuan terakhir umat Buddha, yaitu
Nibbana. Kelima Sila termaksud yaitu berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan,
berusaha untuk tidak mencuri, berusaha untuk tidak melakukan hubungan intim
yang salah, berusaha untuk tidak berbohong serta berusaha untuk tidak makan
atau minum yang menyebabkan hilangnya kesadaran (mabuk).
Hal
tersebut berarti bahwa perbuatan seseorang dikatakan benar, sejalan dengan
Jalan Mulia Berunsur Delapan, apabila kriteria tersebut telah terpenuhi. Esensi
di balik hal tersebut adalah, selama suatu tindakan tidak didasari oleh
keserakahan, kebencian atau ketidaktahuan, maka dikatakan sebagai perbuatan
benar. Sebaliknya, apabila ada unsur keserakahan, kebencian atau ketidaktahuan
maka perbuatan tersebut dikatakan salah.
Pancasila
merupakan dasar perilaku manusia. Dengan menaati pancasila, kita dapat memiliki
pikiran yang terang, jernih dan saleh. Kita akan memiliki hidup yang bahagia
dan penuh percaya diri. Semoga semua tekun berlatih pancasila dan
sebaik-baiknya sebagai manusia dengan bekerja keras untuk mencapai kedamaian.
"… Bukan karena kelahiran seseorang
menjadi tidak mulia atau hina, Bukan karena kelahiran seseorang menjadi mulia,
Tetapi perbuatan atau tingkah lakulah yang menentukan seseorang hina atau
mulia…" (Vasala Sutta, Sutta Nipata 136)
“… Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau
harum, demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh
orang yang melaksanakannya…” (Dhammapada 52).
Pancasila adalah penerapan
khusus dan pribadi dari aturan perbuatan baik. Kalau dilaksanakan secara
menyeluruh akan menghasilakn terbentuknya masyarakat yang ideal. Bahkan
kalaupun oleh pribadi dan secara sebagian. Pancasila mneyediakan dasra bagi kebahagiaan
sekarang dan yang akan datang. Hal ini karena pancasila dilaksanakan akan
mencegah penyebaran tindakan tidak baik dari tubuh, ucapan, dan pikiran yang
mengakibatkan penderitaan menurut hukum kamma. Oleh karena itu bila dengan
melaksanakan sila-sila itu orang menghindari pembunuhan, pencurian, prilaku
seks yang salah dan berbohong, orng menjga dirinya supaya tidak menderita dari
perbuatannya seperti pedek umur, kemelekatan, atau kesengsaraan perkawinan dan
seterusnya, yang merupakan akibat dari tindakan-tindakan tidak baik itu. Dengan
demikian pembunuhan semut ataupun nyamuk atau musuh pada masa perang, walaupun
masih merupakan unsur dari sila pertama, mungkin tidak membawa akibat kamma
yang penuh karena kondisi dimana hal itu terjadi.
Pancasila tidak pernah dimaksudkan untuk membatasi
kebebasan, karena pancasila dapat melindungi kita sepanjang dijalankan dengan
baik. Melanggar salah satu petunjuk dari pancasila bukan berarti dosa yang
tidak dapat dimaafkan, itu dilihat sebagai tindakan keliru karena kurangnya
kebijaksanaan. Pada awalnya, umat perumah-tangga mungkin mengalami kesulitan
untuk menjalankan pancasila secara lengkap dan berkesinabungan. Tetapi
hendaknya hal itu tidak melemahkan semangat. Bahkan jika seseorang hanya dapat
menjalankan satu atau dua petunjuk dari pancasila dengan baik, orang itu tlah
meletakan dasar untuk kebahagian di masa sekarang dan yang akan datang,
seseorang dapat mengulang tekadnya menjalankan pancasila tiap harinya untuk
mengingatkan dirinya pada cara hidup yang ideal yang seharusnya dijalankan.
“Sila” dalam agama Buddha sering diterjemahkan
sebagai “moral, kebajikan, atau perbuatan baik.” Ajaran Buddha tentang sila
adalah etika Buddhis, petunjuk dan latihan moral yang membentuk perilaku yang
baik. Menurut kosakata bahasa Pali, “sila” dalam pengertian luas padanannya
adalah “etika” dan dalam pengertian sempit padanannya adalah “moral”.
Landasan moral dalam agama Buddha pada dasarnya
bukan berupa perintah atau peraturan, melainkan pengertian yang mendalam
tentang apa yang baik dan apa yang buruk terkait dengan sebab dan akibat (kamma). Fakta sederhana bahwa etika umat
Buddha berakarkan hukum alam membuat prinsip-prinsipnya bermanfaat dan dapat
diterima oleh dunia modern.
Menurut bentuknya sila dibedakan atas dua aspek
perumusan, yaitu : negaif (varitta-sila)
dan positif (caritta-sila). Yang
pertama penolakan terhadap perbuatan yang buruk, dan yang kedua merealisasikan
perbuatan yang baik. Setiap rumusan sila mengandung aspek yang berpasangan dan
saling bergantungan. Kedua aspek itu jelas terlihat pada ajaran semua Buddha :
“Jangan berbuat jahat; perkembangkan perbuatan yang baik; sucikan hati dan
pikiran” (Dhammapada 183). Perumusan sila yang bersifat pantangan tidak bisa
dikatakan pasif. Menghindari perbuatan jahat, memiliki sisi lain, yaitu
melakukan kebajikan.
Secara detail pola perumusan ini antara lain
ditemukan dalam Brahmajala-sutta.
“Petapa Gotama menghindari pembunuhan, ia membuang pentungan dan pedang, dan
malu melakukan kekerasan. Dengan penuh cinta kasih, ia hidup mengasihi dan
menyayangi semua makhluk” (D. I, 4). Aspek negative menghindari pembunuhan dan
aspek positif menyanyangi atau menghargai kehidupan semua makhluk. Aspek
negative merupakan pendahuluan dari aspek positif, menyiapkan lahan yang baik
untuk aspek positif. Seumpama menanam padi di sawah terlebih dahulu harus
membersihkan sawah dari rumput, agar padinya dapat tumbuh dengan baik dan
member hasil yang diharapkan.
Sila terkait dengan kamma dan sebab akibat. Sila
yang baik membuahkan kebahagiaan dan pelanggaran sila menimbulkan
penderitaan. Sila berguna untuk
orang-orang pribadi, yaitu melindungi orang yang melaksanakan, membuatnya
menjadi manusia halus budi dan sempurna, yang mampu melepaskan diri dari penderitaan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, sila mengendalikan nafsu indera sekaligus
mengendalikan hubungan antarmanusia. “Bagai seorang gembala dengan tongkat
mengawasi ternak-ternaknya, sehingga mereka tidak berkeliaraan dan merusak
tanaman orang lain.” (Mahaparinirvanapacchimovada-sutra).
Sila merupakan tahap permulaan untuk memasuki
kehidupan yang lebuh luhur dan orang yang melaksanakannya akan memperoleh
kebahagiaan duniawi dan surgawi. Dalam Mahaparinibbana-sutta
di hadapan para perumah tangga Buddha mengemukakan manfaat dari pelaksanaan
sila : (1) membuat orang bertambah kaya; (2) mendatangkan nama baik; (3)
menimbulkan percaya diri dalam pergaulan dengan berbagai golongan manusia; (4)
member ketenangan disaat kematian; (5) setelah meninggal dunia, akan terlahir
kembali kedalam surga (D. II, 86).
Faedah dari pelaksanaan sila terutama adalah
tiadanya penyesalan(avippatisaro)
sebagai tujuan dan buahnya (A. V, 1). Dengann memiliki sila seseorang akan
dicintai, dihormati dan dihargai oleh orang lain (M. I, 33).
Kabajikan
seseorang tidak tergantung kepada penampilan luar (badan, wajah, atau
keturuunan), akan tetapi tergantung dari perilaku (kamma) oramg tersebut.
Perbuatan baik dapat diumpamakan seperti tumbuhnya pohon, pohon akan tumbuh
dengan baik bila disokong dengar air, udara, pemupukan serta pemeliharaan
dengan baik. Demikian pula perbuatan baik (sila) akan dapat dilaksanakan dengan
baik didasarkan kepada faktor Sati dan Sampajanna serta Hiri dan Ottapa.
1. Sati
Sati artinya cetusan keadaan batin,
misalnya cetusan batin untuk membaca buku. Dalam pelaksanaan Dhamma dan
aktivitas sehari-hari sati dimaksudkan sebagai ingatan, perhatian, kewaspadaan,
serta kesadaran sebelum melakukan perbuatan. Lawan dari sati adalah “lupa”.
Agar tidak melalaikan pekerjaan karena lupa maka sati harus dijaga setiap saat.
Contoh sati dalam kehidupan sehari-hari adalah :
1.
Si
A ingat bahwa membuang sampah sembarangan adalah karma buruk.
2.
Si
B ingat bahwa menyelewengkan uang SPP adalah termasuk mencuri.
3.
Si
C ingat bahwa mencontek adalah perbuatan bodoh, dll.
Sati merupakan
factor yang snagta penting untuk mendukung sila (perbuatan baik) seseorang.
Orang yang tidak memiliki sati atau kehilangan sati diibaratkan seperti orang
yang “sakit jiwa” karena orang yang sakit jiwa Citta (pikiran) nya dapat
bekerja, tetapi sati (ingatan) nya tidak dapat bekerja sehingga tidak mempunyai
pengendalian diri.
Sati sebenarnya
tidak mudah luntur walaupun kita sakit bertahun-tahun, tidak makan berhari-hari,
bekerja keras, dan lain-lain. Sati akan luntur dan hilang dari diri seseorang,
jika ia minum minuman keras dan sejenisnya. Larangan untuk tidak minum minuman
keras dan sejenisnya adalah penegasan pentingnya sati dalam kehidupan
sehari-hari. Sati dapat dikembangkan drngan berbagai cara, misalnya dengant
membuat buku catatan harian, memasang bel, memasang/menempel kertas di suatau
tempat, menghindari barang-barang yang memabukkan, melakukan meditasi
perenungan, dll.
2. Sampajanna
Sampajanna yaitu muncul kesadaran ketika sedang
melakukan kegiatan. Dhamma ini sangat membantu untuk tumbuhnya kabaikan sama
seperti halnya sati. Pada umumnya kesadaran demikian membawa manfaat, misalnya
mereka menyadari bahwa mereka sedang melakukan kejahatan dan berusaha melakukan
sebaik mungkin serta berhati-hati. Mereka menyadari bahwa mereka sedang
berbohong dan berusha agar pembicaraan itu dipercaya oleh orang lain.
Sampajanna yang dimaksudkan disini adalah bukan
kesadaran ketika melakukan kejahatan, tetapi kesadran yang membawa manfaat bagi
diri sendiri dan orang lain. Jenis kesadaran ini (sampajanna) adalah bila disertai dengan empat cirri dari Sampajanna yaitu:
1)
Menyadari
manfaat yang sedang kita lakukan.
2)
Menyadari
bahwa apa yang sedang kita lakukan sesuai atau tidak dengandiri kita sendiri.
3)
Menyadari
bahwa apa yang kita lakukan akan menimbulkan suka atau duka.
4)
Menyadari
bahwa apa yang kita lakukan itu merupakan suatu kebodohan atau didasari
pengertian yang benar.
Keempat faktor
kesadaran tersebut merupakan faktor dari sampajanna dan memberikan kesadaran
bagi kita untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, tidak sesuai dengan
posisi kita, serta dengan cara yang keliru. Dengan adanya kesadaran ini maka
kita dapat menyesuaikan diri dan menambah kebajikan. Bila tidak memiliki
kesadaran maka dapat terjadi hal-hal misalnya seperti, murid-murid tidak akan
naik kelas jika selalu melamun dan tidak mengerti apa yang diajarkan guru.
3. Hiri
Hiri bersumber
dari dalam diri sendiri, bersifat otonom, timbul sendiri, berbentuk rasa malu,
ditandai adanya sifat konsisten dengan kebenaran, sumber subyektif dari hiri
adalah pandangan dari ide-ide yang berhubungan dengan kelahiran (misalnya saya
lahir dari keluarga baik-baik maka seharusnya malu untuk berbuat jahat), usia
(misalnya saya sudah dewasa mka saya malu untuk berbuat kejahatan), kedudukan
sosial (misalnya saya adalah seorang pelajar maka saya malu kalau melakukan
kejahatan), kehormtan diri (misalnya saya adalah orang yang dihargai masyarakat
saya akan malu kalau sya berbuat jahat), dan tingkat pendidikan (misalnya saya
adalah orang yang berpendidikan maka saya malu kalau saya melakukan kejahatan).
Maka seseorang
yang memilik hiri akan berfikir “hanya orang-orang bodoh, anak-anak dan orang
yang tidak perpendidikan yang tidak memiliki rasa malu untuk berbuat jahat”.
Oleh karena itu saya akan menghindari pendangan yang salah dan melakukan
perbuatan baik. Dengan hiri, seseorang bercermin kepada kehormatan dirinya,
kelahirannya, gurunya, kedudukannya, pendidikannya, atau masyarakat dimana
berada. Apabila seseorang memiliki hiri, maka dirinya sendirilah yang paling
tepat menjadi guru dan pengawasnya yang terbaik.
4. Ottapa
Ottapa yang
berarti memiliki rasa takut untuk berbuat jahat lebih bersumber dan dipengaruhi
oleh hal-hal luar diri kita, bersifat heteromus, lebih dipengaruhi oleh
lingkungan dan masyarakat. Jika hiri terbentuk oelh rasa malu, tetapi ottapa
dibentuk oleh rasa takut. Ottapa ditandai dengan adanya kemampuan mengenal
bahaya dan takut melakukan kesalahan.
Sumber eksternal
dari ottapa adalah pandangan dan ide-ide bahwa sesuatu yang “berkuasa” akan
mempersalahkannya, maka ia menghindari perbuatan yang salah. Dengan ottapa,
seseorang takut pada dirinya sendrir, takut dipersalahkan orang lain, dll.
Apabila seseorang lebih sensitive terhadap ottapa, maka sebaiknya mengikuti
bimbingan dan peraturan dari seseorang ataupun dari suatu ajaran yang baik yang
diyakininya.
Perilaku benar
menurut padangan agama Buddha pada dasarnya adalah perilaku yang sesuai dengan
aturan moral atau sila yaitu pancasila. Untuk menunjang pelaksanaan sila pada
diri seseorang. Hiri dan ottapa akan sangat membantu. Hiri adalah perasaan
malu, sikap batin yang merasa malu bila melaksanakan kesalahan atau
kejahatan. Ottapa artinya enggan berbuat
salah atau jahat. Sikap batin yang merasa enggan atau takut akan akibat
perbuatan salah atau jahat yang akan dilakukan. Hiri dan Ottapa merupakan sebab
terdekat timbulnya sila.
“… Ada dua hal
yang jelas, oh Bhikkhu, untuk melindungi dunia. Malu dan takut, bila kedua
dhamma ini tidak menjadi pelindung dunia, maka seseorang tidak akan mengharagai
ibunya, tidak menghargai bibinya, tidak menghargai kakak iparnya, tidak
menghargai istri gurunya…” (Anguttara nikaya II, 7)
Jika
seseorang memiliki rasa malu untuk berbuat jahat niscaya sekecil apapun
perbuatan yang dilakukan akan disertai kehati-hatian, ia selalu menjaga dengan
penuh kewaspadaan agar apapun yang dilakukan tidak membuatnya tercela. Demikian
pula jika seseorang memiliki rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat maka
segala perbuatan yang dilakukan sekecil apapun akan selalu mempertimbangkan
akibat yang ditimbulkan sehingga pikiran, ucapan dan perbuatannya tidak
merugikan siapapun. Dalam Dhammapada dituliskan akibat dari melakukan kejahatan
adalah penderitaan. Buddha bersabda:
“…
semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan akan kematian.
Setelah membandingkan orang lain dengan dirinya, hendaklah seseorang tidak
membunuh atau menyebabkan terjadinya pembunuhan …” “(Dhammapada.129)
Suatu perbuatan yang
menghasilkan penyesalan, dan mengakibatkan ratapan tangis dan air mata adalah
perbuatan yang tidak baik (akusalakamma), tetapi jika suatu perbuatan yang
tidak mengakibatkan penyesalan dan menyebabkan kegemberiaan dan kebahagiaan,
maka itu adalah suatu perbuatan yang baik (kusalakamma).
Bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari, kita
pada umumnya berkehendak dulu sebelum melakukan suatu tindakan; oleh karenanya,
dengan berdasarkan Azas moral yang sesuai dengan Ajaran, kita hendaknya
memasukan kehendak-kehendak yang baik terlebih dahulu pada setiap rencana
tindakan kita sebelum melaksanakannya. Apabila suatu tindakan memperkuat
kecenderungan-kecenderungan yang menjauhkan diri kita dari jalan Nibbana,
menyebabkan diri kita dan orang lain menderita, dan juga termasuk suatu
tindakan yang didasari oleh kehendak negatif seperti Kebencian, Keserakahan,
Kesombongan dan sebagainya; itulah yang
disebut tidak baik atau salah. Tetapi sebaliknya jika suatu tindakan memperkuat
kecenderungan-kecenderungan yang mendekatkan diri kearah Nibbana, tidak
menyebabkkan penderitaan bagi diri kita sendiri dan orang lain, dan juga
termasuk suatu tindakan yang didasari dengan kehendak yang positif seperti
Cinta Kasih, Kemurahan Hati, dan sebagainya, itulah yang disebut sebagai yang
baik dan benar. Berdasar hanya salah satu dari azas diatas saja tidaklah cukup
untuk menilai apakah suatu tindakan baik atau buruk, tapi ketiganya merupakan
suatu kesatuan atau kemanunggalan yang tepat untuk dijadikan sebuah petunjuk
untuk berpikir, berbicara dan bertindak. Menjadi baik dalam pandangan buddhisme
tidak sekadar mematuhi suatu perintah-perintah; tapi juga perlu bahwa kita
memikirkan tujuan atau sasaran kita, bahwa kita bermawas diri dalam berpikir,
berbicara dan bertindak dalam agar supaya kita menjadi peka dalam hubungan
diantara sesama.
Secara singkat diperlukan
akal budi dan pengertian. Dengan demikian adalah sangat tepat bila dikatakan
bahwa Buddha Dhamma meletakkan dasar pada moralitas. Dalam membicarakan
kebajikan, adalah penting ditekankan bahwa Buddha Dhamma meletakkan dasar pada
Moralitas. Dalam membicarakan kebajikan, adalah penting ditekankan bahwa Buddha
Dhamma mengajarkan keunggulan dari Kebajikan daripada Kejahatan. Beberapa
ajaran lain mengajarkan secara alami setiap orang pada dasarnya berdosa, dan
bahwa manusia dengan kekuatan sendiri tidak akan mampu menjadi baik, dan bahwa
hanya dapat ditolong dengan memohon belas kasih dari Makhluk Adikodrati
tertentu. Pemahaman Buddha tentang ciri alami manusia sangat berbeda dari
pandangan pesimis dari Ajaran-ajaran lain. Kebaikan atau kebajikan adalah lebih
kuat daripada kejahatan.
Ulasan ajaran Buddha mengenai Perbuatan Benar
jelas membicarakan suatu etika. Dengan memahami etika secara baik maka
seseorang akan mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan dan apa yang tidak
harus dilakukan. Jika sesuatu itu membawa ketenangan dan kebahagiaan maka harus
dilakukannya dan terus mengembangkannya.
“… Janganlah meremehkan kebajikan walaupun
kecil, dengan berkata: “Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat.” Bagaikan
sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi
setetes, demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya
dengan kebajikan …” (Dhp.122)
Menurut ajaran Buddha, suatu perbuatan itu
dikatakan baik atau buruk tergantung pada keadaan pikiran pelaku saat perbuatan
tersebut dilakukan. Jadi, kriteria dasar etika Buddhis bukanlah teologis,
melainkan psikologis. Dalam tataran praktis, ada tiga azas untuk mengetahui dan
membatasi apa yang baik dan apa yang buruk. Ketiga azas tersebut adalah:
1. Asas Tujuan
Azas tujuan adalah mengetahui suatu perbuatan
baik atau buruk berdasarkan pada tujuan. Tujuan akhir Buddhis adalah Nibbana,
yaitu lenyapnya nafsu (keserakahan, kemelekatan), lenyapnya kebencian, dan
lenyapnya kebodohan (ketidaktahuan, kekelirutahuan) [JambukhÄdakasayutta, SN
38.1]. Berdasarkan hal ini, maka apabila kita melakukan suatu perbuatan
yang dapat melemahkan nafsu, kebencian dan kebodohan, maka perbuatan tersebut
dikatakan baik, seperti berdana dan membantu tetangga sekitar. Suatu perbuatan
dikatakan netral apabila tidak menambah serta tidak pula melemahkan nafsu,
kebencian dan kebodohan. Contoh perbuatan netral adalah berjalan, berpikir
mengenai asal muasal alam semesta, dan tidur.
2.
Asas
Hasil Akibat
Azas hasil akibat adalah mengetahui suatu
perbuatan baik atau buruk berdasarkan hasil akibat suatu perbuatan. Buddha
mengatakan, “Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang
menyesal dan akibatnya membuat ratapan dan air mata, maka perbuatan itu tidak
baik. Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan tidak membuat seseorang
menyesal, berakibat kegembiraan dan kepuasan, maka perbuatan itu baik.” (Dhp.
67-68)
3. Asas Universalitas
Azas
universalitas adalah mengetahui suatu perbuatan baik atau buruk berdasarkan
penerimaan secara umum, yaitu bahwa semua manusia menghindari dan tidak ingin
menderita dan semua orang mendambakan kebahagiaan. Hal tersebut berarti kita
bisa menyimpulkan bahwa apa yang membuat saya menderita berarti orang lain juga
tidak ingin. Jadi, azas universalitas ini berarti bahwa kita seharusnya tidak
melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan orang lain lakukan kepada diri kita.
Azas-azas tersebut semuanya sebagai panduan
kita dalam menilai perbuatan kita sendiri, bukan menilai atau menghakimi
perbuatan orang lain. Pada dasarnya, semua perbuatan baik bersumber dari
kehendak atau niat kita. Selama bersumber dari niat-niat negatif, jelas
perbuatan tersebut dikatakan perbuatan buruk, sebaliknya juga demikian.
Referensi :
Wijaya-mukti,krishnanda.2003. Wacana Buddha Dhamma.Jakarta. Penerbit:
Yayasa
Dharma Pembangunan.
Tim penyusun.
1989. Kitab Suci Dhammapada.
Surabaya. Penerbit : Bodhimandala Rumah Suci.
Gunawan. Tahun tidak diketahui. Dharma dalam kehidupan sehari-hari.
Jakarta. Penerbit: Dharmasagara.
Departemen agama
RI.2005. Sutta pitaka majjhima nikaya V.
Surabaya. Penerbit: paramita Surabaya.
Departeman agama RI. 2003. Buku pelajaran agama Buddha. Jakarta.
Penerbit:
direktorat jendral bii,bimbingan
masyarakat hindu dan Buddha.
Suandika. 2006. Buku pelajaran pendidikan agama Buddha. Surabaya. Penerbit:
Paramita Surabaya.
Rofianto,anas.2005. Buku pelajaran Agama Buddha. Surabaya. Penerbit: Paramita
Surabaya.
Tim penyusun. 1992. Sutta Pitaka Digha Nikaya. Jakarta. Penerbit : C.V. Danau Batur.
Tim Penerjemah. 1990. Brahmajala Sutta. Tidak diketahui.
Penerbit : Arya Surya
Candra.
Wijya, Willy Yandi. 2012. Perbuatan Benar. Yogyakarta. Penerbit :
In Sight Vidyasena
Production.
Basuki, D.Henry. 2000. Perilaku sebagai
Umat Buddha. (Online),
buddha/436653238705).
Diakses 15 Maret 2015.
terimakasih infonya
BalasHapusberkunjung ya >>>
Deja vu cinta
terimakasih