PARADIGMA KEHIDUPAN MONASTIK YANG MEMPUNYAI PERILAKU
KOMSUMTIF DI LIHAT DARI SUDUT PANDANG VINAYA PATIMOKKHA.
Disusun
Oleh:
Duty
Metta Setyani
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga sejahterah
menurut UU No. 10 tahun 19922 tentang perkembangan kependudukan, adalah
keluarga yang dibentuk bedasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup spiritual dan material, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki
hubungan serasi, selaras, serta seimbang antara anggota keluarga maupun
masyarakat (Mukti, 2003 : 342).
Kebutuhan hidup
atau kekayaan yang telah diperoleh hingga masuk kreteria tercukupi, akan
menjadi sumber kesejahteraan bila terjaga dengan baik. Kebutuhan hidup yang
terpenuhi yang terpenuhi dengan melimpah akan habis bila tidak terjaga dan
tidak ada kekompakan atara sesama anggota keluarga, karena kemakmuran atau
kesejahteraan suatu keluarga tidak tercapai dengan sendirinya, tetapi
tergantung dari usaha kepala keluarga serta ketekunan atau ketrampilan para
anggotannya. Kekompakan menjaga kekayaan atau kebutuhan yang telah diperoleh
direalisasikan dengan kehati-hatian setiap anggota keluarga dalam menggunakan
serta membelanjakan kekayaan.
Masyarakat pada
masa pada masa sekarang ini lebih bersifat komsumeris, yaitu sebuah gejala
manusia modern pemuja segala sesuatu yang berasal dari bentuk-bentuk faham
materialisme . Perubahan social dan tekanan ekonomi telah membuat masyarakat
lebih mengutamakan kekayaan serta sukses duniawi dengan mengabaikan nilai-nilai
moral. Masyarakat mudah tertarik dengan berbagai pengharapan, pada konsumsi
yang ditawarkan oleh dunia iklan, atau tuntutan menyesuaikan diri dengan
pergaulan modern (Mukti, 2003:345). Fenomenan ini membawa pengaruh bagi
kehudupan keluarga. Sebuah keluarga bila tidak memiliki ketahan mental yang
kuat, serta mudah tertarik oleh pengaharapan dan penewaran dunia iklan. Akan
terjerumus mengikuti gaya hidup yang mewah, berlebihan, maupun boros. Kehidupan
komsumeris tidak hanya di alami dan menjadi masalah kehidupan berkeluarga,
tetapi kehidupan sangha pun juga terkena dampak dari modernisasi pada masa
kini.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari perilaku komsumtif?
2.
Apa
dampak dari perilaku komsumtif?
3.
Bagaimana
kehidupan komsumtif perumah tangga?
4.
Bagaimana
kehidupan komsumtif sangha?
5.
Perbedaan
kehidupan komsumtif sangha dan perumah tangga?
6.
Bagaimana
cara mengatasi perilaku komsutif?
7.
Apa
yang menyebabkan lahirnya Vinaya
Patimokkha?
C.
Tujuan
1.
Mengerti
pengertian dari perilaku komsumtif.
2.
Memahami
kehidipan komsumtif perumah tangga.
3.
Memahami
kehidupan komsumtif sangha.
4.
Mengetahui
perbedaan kehidupan komsumtif sangha dan perumah tangga.
5.
Mengetahui
kehidupan komsumtif yang dominan antara sangha dan perumah tangga.
6.
Memahami
dan mengetahui cara mengatasi perilaku komsutif.
7.
Memahami
perilaku komsutif yang dilihat dari sudut pandang vinaya Patimokkha.
D.
Manfaat
Makalah ini dibuat agar pembaca mengetahui
paradigma kehidupan monastik yang mempunyai perilaku komsumtif yang dilihat
dari sudut pandang vinaya patimokkha. Dan mengetahui mana yang paling dominan
memiliki perilaku komsumtif dan cara mengatasi perilaku komsumttif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perilaku
Komsumtif
Menurut Rosandi (2004) perilaku konsumtif adalah
suatu perilaku membeli yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang
rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang
sudah tidak rasional lagi. Sabirin (dalam Wardhani, 2009) mendefinisikan
perilaku konsumtif sebagai suatu keinginan dalam mengkonsumsi barang-barang
yang sebenarnya kurang dibutuhkan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan
maksimal.
Prilaku konsumstif bukan hanya milik orang kaya atau
orang kota, melainkan juga ditiru oleh kelompok kelas bawah dan masyarakat
desa. Perubahan pola konsumtif tersebut tidak bisa tidak sebagai akibat
langsung dari perkembangan teknologi komunikasi dan media, seperti TV dan media
cetak lainnya. Iklan dan advertising telah memainkan peran
yang tidak sedikit dengan “bujukan” dan “rayuan”nya yang dilancarkannya secara
terus menerus guna men-stimuli budaya konsumsi masyarakat.
Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) dan
Mowen (1995) gaya hidup adalah suatu pola hidup yang menyangkut bagaimana orang
menggunakan waktu dan uangnya. Gaya hidup juga dapat didefinisikan sebagai
suatu frame of reference atau kerangka acuan yang dipakai
seseorang dalam bertingkah laku, dimana individu tersebut berusaha membuat
seluruh aspek kehidupannya berhubungan dalam suatu pola tertentu, dan mengatur
strategi begaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain.
Gaya hidup terdiri dari kegiatan, minat, dan
opini. Kegiatan adalah tindakan nyata seperti menonton
suatu media, berbelanja di toko, atau menceritakan kepada orang lain mengenai
hal baru (perilaku konsumtif). Minat akan semacam objek,
peristiwa, atau topik adalah tingkat kegairahan yang menyertai perhatian khusus
maupun terus menerus kepadanya. Opiniadalah “jawaban” lisan atau
tertulis yang orang berikan sebagai respon terhadap situasi stimulus dimana
semacam pertanyaan diajukan.
Gaya hidup mempengaruhi
perilaku seseorang dan pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Orang akan cenderung
memilih produk, jasa, atau aktivitas tertentu karena hal itu diasosiasikan
dengan gaya hidup tertentu. Misalnya orang-orang yang berorientasi pada karir
akan memilih pakaian, buku, majalah, komputer, dan barang-barang lainnya yang
berbeda dengan mereka yang berorientasi pada keluarga. Pada tingkat
lanjut, antara sifat konsumtif dan gaya hidup ini saling terpaut erat. Demi
memenuhi gaya hidup, seseorang akan bersifat konsumtif (melakukan pembelian
produk atau jasa) meskipun hal tersebut bertolak belakang dengan realitas
kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya.
Seiring dengan tingginya
produksi, distribusi dan peredaran produk barang dan jasa, beserta iklan-iklan
produksi sedikit banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat. Budaya konsumtif
akhirnya lahir sebagai bentuk pemenuhan gaya hidup seperti yang dikampanyekan
dalam iklan. Faktor
lingkungan memberikan peranan besar pembentukan perilaku konsumtif. Masyarakat
lebih senang belanja barang bermerek meskipun kualitasnya terkadang tidak lebih
baik daripada barang dengan merek yang tidak begitu terkenal. Kecenderungan
demikian terbangun karena terkait citra diri, bahwa dengan mengenakan pakaian
bermerek maka statusnya akan terangkat (Rosandi, 2004).
B. Dampak
Gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang yang akhirnya menentukan
pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Gaya hidup ikut berkembang sesuai dengan
kemajuan zaman dan didukung oleh fasilitas-fasilitas yang ada. (Wagner, 2009:
9). Dalam
artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan,
yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala
prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.
Perilaku konsumtif adalah perilaku manusia yang melakukan kegiatan konsumsi
yang berlebihan.
Perilaku konsumtif ini pada beberapa sisi memberikan dampak positif,
antara lain:
1.
Membuka dan menambah lapangan pekerjaan,
karena akan membutuhkan tenaga kerja lebih banyak untuk memproduksi barang
dalam jumlah besar.
2.
Meningkatkan motivasi konsumen untuk
menambah jumlah penghasilan, karena konsumen akan berusaha menambah penghasilan
agar bisa membeli barang yang diinginkan dalam jumlah dan jenis yang beraneka
ragam.
3.
Menciptakan pasar bagi produsen, karena
bertambahnya jumlah barang yang dikonsumsi masyarakat maka produsen akan
membuka pasar-pasar baru guna mempermudah memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Namun bila dilihat dari sisi negatifnya, maka perilaku konsumtif akan
menimbulkan dampak:
1.
Pola hidup yang boros dan akan
menimbulkan kecemburuan sosial, karena orang akan membeli semua barang yang
diinginkan tanpa memikirkan harga barang tersebut murah atau mahal, barang
tersebut diperlukan atau tidak, sehingga bagi orang yang tidak mampu mereka
tidak akan sanggup untuk mengikuti pola kehidupan yang seperti itu.
2.
Mengurangi kesempatan untuk menabung,
karena orang akan lebih banyak membelanjakan uangnya dibandingkan menyisihkan
untuk ditabung.
3.
Cenderung tidak memikirkan kebutuhan
yang akan datang, orang akan mengkonsumsi lebih banyak barang pada saat
sekarang tanpa berpikir kebutuhannya di masa datang.
Dewasa ini gaya hidup pria ”metroseksual” yaitu pria
yang menjaga penampilan, senang berdandan, melakukan perawatan rambut, wajah,
dan tubuh banyak pada pria masa sekarang. Kecenderungan ini membuat industri
kecantikan, produk-produk perawatan wajah dan tubuh menjadi peluang bisnis yang
menarik. Perkembangan produk teknologi informasi beserta iklan-iklan yang juga telah melahirkan perlombaan
penggunaan gadget, padahal tidak seluruh pengguna gadget ini
membutuhkan dan menggunakan semua fitur yang dimiliki oleh gadget yang
dimilikinya. Munculnya tempat-tempat hiburan seperti karaoke keluarga
setidaknya telah menambah khasanah gaya hidup dan konsumtif masyarakat dalam
memuaskan hasrat hidupnya.
Perilaku komsumtif jika dilihat
dari sudut pandang ajaran sang Buddha. Gaya hidup yang mempengaruhi perilaku
komsumtif akan menimbulkan kemelekatan seseorang pada kehidupan keduniawian.
Dalam Dhamma Vibhaga (Ma. Mu. 11/152 ), yaitu : (1) kemelekatan pada kenafsuan
(kamupadana), (2) kemelekatan pada
pandangan (ditthupadana), (3)
kemelekatan pada upacara-upacara (silabuttupadana),
(4) kemelekatan pada sang ego (attavadupadana).
Kemelekatan pada kenafsuam
adalah berdasarkan pada keinginan terhadap nafsu-nafsu ke-indria-an.
Kemelekatan ini membawa pada pemuasan diri secara berlebih-berlebihan, dan
dapat menimbulkan iri hati dan kemauan jahat. Sehingga menyebabkan
kesejahteraan umat ataupun masyarakat menjadi bermasalah. Gaya hidup dan
perilaku komsumtif dapat menimbulkan kemelekatan pada pandangan. Kemelekatan
pandangan ini adalah berdasarkan pada sikap kepala batu dan tidak toleran.
Kemelekatan ini membawa pada pertentangan-pertentangan yang tidak perlu.
Kemelekatan padangan ini juga membuat seseorang tidak pernah puas dan akan
melakukan apapun demi keinginannya dalam memenuhi kebutuhannya. Kemelekatan ini
juga sama dengan kemelekatan pada sang ego yang disebabkan oleh kebangaan-kebangaan
dan sifat menonjolkan diri.
C.
Komsumtif dalam Kehidupan Perumah Tangga
Setiap keluarga memiliki cita-cita untuk memperoleh
kesejahteraan. Salah satu faktor pendukung tercapainya kesejahteraan keluarga
adalah kebutuhan hidup yang tercukupi. Kebutuhan hidup untuk mencapai
kesejahteraan sebagai keperluan jasmani meliputi pakaian, makanan, perumahan,
serta obat-obatan.
Gaya hidup yang mewah, berlebihan, komsumer serta
boros membawa kemerosotan karena dapat membuat habis kekayaan sehingga keluarga
menjadi miskin. Menurut Buddha, sebuah keluarga yang miskin akibat boros akan
terliabt hutang serta membawa kenistaan bagi keluarga itu sendiri (D.III. 188).
Akibatnya keluarga menjadi rusak, serta kerukunan sulit dipertahankan,
kesejahteraan sebagai cita-cita dasar tidak dapat dicapai. Kebutuhan hidup yang
telah diperoleh menjadi berkurang sehingga keluarga mengalami krisis.
Cinta kasih antara anggota keluarga berkurang karena
belenggu keinginan berlebihan untuk memperoleh kekayaan, serta kemewahan.
Akibatnya timbul tindak kekerasaan dalam keluarga. Suami istri hidup terpisah,
dan berakhir perceraian. Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih
sayang terjerumus dalam pergaulan bebas, serta terlibat berbagai bentuk
kenakalan remaja atau perbuatan anti social. Muncul tindak kriminal, tawuran,
narkotika, alcohol, dan zat adiktif lainnya. Efek yang muncul secara luas
adalah terganggunnya keamanan, ketertiban, serta kesejahteraan masyarakat
(Mukti, 2003 : 343).
Sikap
hidup berlenihan serta mewah akan menumbuhkan keserakahan, akibatnya seseorang
mudah terjerumus melakukan perbuatan jahat yang dapat merugikan orang lain dan
masyarakat. Seperti yag dikatakan sang Buddha :
“…
keserakahan pada kekayaan dapat
menghancurkan diri sendiri dan orang lain…” (Dhp. XXIV.355).
Sifat serakah membuat seseorang melakukan korupsi,
pungli dan tindakan tercela lainnya. Tindakan ini akan merugikan serta
mengganggu ketenangan hidup bermasyarakat. Melihat masalah yang timbul dari
pola hidup materialistic, mewah dan secara berlebihan serta tidak dilandasi
sikap mental yang kuat, hanya akan mendatangkan penderitaan, dan menjauhkan
pencapaian kesejahteraan sebagai tujuan utama setiap keluarga. Kehidupan setiap
anggota keluarga sebagai manusia yang sesuai dengan arti kata manusia itu
sendiri, tidak sepantasnya hanya mengejar dan mengutamakan materi. Karena ada
hal utama untuk dilakukan, yaitu mencapai keluhuran dengan mengembangkan batin
serta pikiran kea rah yang lebih tinggi (pannavaro, 1990 : 17).
D.
Kehidupan Sangha
Bhikkhu
adalah umat Buddha yang melepaskan diri dari hidup keduniawian untuk berjuang
sungguh-sungguh mencapai Nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Kata bhikkhu
sering diterjemahkan sebagai “pengemis” atau “peminta sedekah”, namun
terjemahan itu tidaklah mencerminkan pengertian sesungguhnya karena dalam
hubungan itu seorang bhikkhu tidaklah “meminta” melainkan “menerima” apa yang
dipersembahkan kepadanya.
Perhimpunan
para bhikkhu disebut sangha. Kata sangha tidaklah semata-mata menunjukkan suatu
kelompok bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk
menjalankan suatu fungsi/tugas (seperti halnya kuorum dari sejumlah anggota
masyarakat yang dibutuhkan untuk menentukan suatu tindakan). Jumlah bhikkhu
yang membentuk sebuah sangha ditentukan oleh fungsinya. Kebanyakan fungsi
memerlukan sangha dengan empat bhikkhu yang disebut catuvagga tetapi beberapa
fungsi lainnya memerlukan sangha dengan lima, sepuluh, atau dua puluh bhikkhu
(pancavagga, dasavagga, visativagga). Di tempat yang banyak terdapat bhikkhu
diperlukan untuk pelaksanaan upasampada. Akan tetapi di tempat yang terdapat
sedikit bhikkhu, hanya diperlukan lima bhikkhu.
Terdapat
empat kebutuhan pokok bhikkhu yaitu pakaian, makanan, tempat tidur dan obat.
Empat kebutuhan pokok ini hendaknya dapat disediakan oleh umat Buddha. Selain
itu, terdapat kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya seperti alat tulis/buku-buku,
keperluan mandi dan sikat gigi, pisau cukur dan sebagainya. Secara khusus
dinyatakan (Apanidhana-sikkhapada, Surapanavagga ke-10 dalam Pacittiya) bahwa
benda-benda yang menjadi perlengkapan bhikkhu adalah : sebuah mangkuk, tiga
jubah, sebuah nisidana (kain untuk duduk), kotak jarum jahit dan ikat pinggang.
Termasuk pula dalam perlengkapan bhikkhu yaitu saringan air. Keperluan ini bertambah
dengan berlalunya waktu.
Jubah
bhikkhu disebut civara dan terdiri atas tiga bagian : Sanghati (jubah luar),
Uttarasanga (jubah atas) dan Antaravasaka (jubah bawah). Seseorang yang ingin
mendapat upasampada harus memiliki satu perangkat lengkap civara. Civara
berwarna kuning kecoklatan (pada waktu dahulu warna tersebut didapatkan dengan
mencelupkan jubah dalam larutan getah dari beberapa jenis pohon yang disebut
kasava/kasaya. Civara dijahit menurut pola sawah Magadha yang diajukan oleh
Yang Ariya Ananda.
Terdapat
sedikit sekali pembatasan dalam makanan yang dimakan, misalnya tidak boleh
memakan daging hewan tertentu (anjing, ular, macan, beruang, hyaena), dan
daging manusia. Daging hewan lainnya dapat dimakan dengan syarat bhikkhu
bersangkutan tidak melihat, mendengar atau tahu bahwa hewan itu disembelih
untuknya. Hal ini dapat dimengerti karena seorang bhikkhu tidak boleh meminta
makanan kepada orang lain (kecuali dalam keadaan sakit) – sebaliknya hanya
menerima apa yang diberikan tanpa membeda-bedakan. Kebiasaan bhikkhu adalah
menerima apa saja yang diberikan oleh umat sesuai dengan apa yang dimiliki oleh
umat tersebut sehingga tidak menyulitkan umat.
Makanan
dapat diperoleh melalui pindapata (bhikkhu berjalan dari rumah ke rumah untuk
menerima makanan yang dipersembahkan, lalu kembali ke vihara untuk makan
makanan tersebut). Dapat pula bhikkhu menerima makanan melalui persembahan umat
kepada vihara/tempat bhikkhu berdiam, atau melalui undangan dari umat kepada
bhikkhu untuk makan di rumah umat. Dalam hal terakhir ini perlu diperhatikan
bahwa hidangan untuk bhikkhu harus disajikan tersendiri, terpisah dengan
hidangan untuk samanera maupun umat lainnya. Selain itu, setiap hidangan yang
disajikan harus dipersembahkan secara “formal” kepada bhikkhu dan setelah
bhikkhu menerima barulah makanan itu dapat dimakan (persembahan kepada bhikkhu
hendaknya dilakukan dengan kedua tangan). Setelah selesai bersantap bhikkhu
membacakan secara singkat beberapa syair keberkahan untuk umat yang diakhiri
dengan misalnya : “Ayu vanno sukham balam” (panjang umur, kecantikan,
kebahagiaan dan kekuatan). Sementara itu, umat bersikap anjali dan mengucapkan
“sadhu, sadhu, sadhu” setelah selesai pembacaan tersebut.
Seorang
bhikkhu tidak boleh minum minuman yang disuling atau diragi
(sura-meraya-majja), kecuali dalam jumlah sedikit untuk keperluan pengobatan.
Sebelum tengah hari segala macam minuman dapat dipersembahkan, dengan atau
tanpa susu. Sesudah tengah hari tidak diperkenankan lagi minum susu, atau
minuman lain yang mengandung susu, telur, kacang-kacangan, atau sup. Teh, kopi,
coklat (semuanya tanpa susu), “juice” buah (yang disaring), dan “soft drink”
dapat diminum pada waktu sore dan malam hari (buah yang di “juice” tidak lebih
besar dari kepalan tangan).
Mangkok
untuk menerima persembahan makanan dapat terbuat dari tanah atau besi. Tidak
dibolehkan untuk memakai mangkuk dari emas, perak, permata, tembaga, kayu dan
sebagainya karena beberapa alasan. Kotak jarum tidak boleh terbuat dari tulang,
gading atau tanduk; yang dibolehkan adalah dari kayu atau logam. Saringan air
dapat dibuat dari sepotong kain atau silinder kosong (bambu atau logam) yang di
bawahnya dilekatkan kain. Menjadi kebiasaan bhikkhu untuk minum air yang telah
disaring. Tidak dibolehkan seorang bhikkhu melakukan perjalanan ½ yojana (1
yojana = 10 mil/16 km) tanpa membawa saringan air.
Umumnya
para bhikkhu tinggal di vihara. Apabila di tempat yang dikunjunginya tidak
terdapat vihara, bhikkhu dapat tinggal di rumah umat. Dalam hal ini disediakan
satu ruangan tersendiri yang di dalamnya terdapat altar Sang Buddha/cetiya.
Lebih baik lagi bila terdapat bangunan tersendiri yang terpisah di taman. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan. Seorang bhikkhu tidak boleh tidur di
ruangan yang sama dengan seseorang yang belum sepenuhnya ditahbiskan, kecuali
untuk masa tiga malam. Selain itu seorang bhikkhu harus menjauhkan diri dan
tidak bersentuhan dengan wanita (sekalipun anak-anak), tidak boleh pula
menyentuh pakaian dan perhiasan wanita, bahkan hewan betina, boneka ataupun
uang. Termasuk benda-benda yang tidak boleh disentuh pula adalah : buah-buahan
(yang tumbuh di pohon), senjata, racun (kecuali diresepkan sebagai obat), jala
dan jerat, benih dan alat-alat musik.
Dari penjelasan
diatas, dapat kita analisis dan kita simpulkan bahwa kehidupan komsumtif yang
menunjukkan kedominan dalam komsumtif adalah kehidupan perumah tangga. Walaupun
demikian kehidupan komsumtif sangha juga bisa dikatakan merugikan dalam
melakukan latihan. Jadi dapat dikatakan bahwa kehidupan komsumtif membuat
seseorang menjadi kehilangan kesejahteraannya diri maupun kehidupan
bermasyarakat.
E.
Solusi dalam Mengatasi Konsumtif
Hidup sederhana jauh dari berlebihan, mewah dan
boros menjadi solusi masalah kehidupan modern yang materialistik. Buddha mengajurkan
seseorang atau sebuah keluarga untuk :
“… merasa puas, mudah disokong, sedikit tugasnya,
sederhana hidupnya, tenang inderanya, berhati-hati, tahu malu serta tidak
melekat pada keluarga…” (Sn. I.144).
Sikap hidup seperti ini akan mendatangkan ketenangan
dan kerukunan, sehingga cinta kasih dalam rumah tangga dapat dipertahankan,
etika serta moral anak sebagai generasi penerus dari keluarga tetap terjaga
dengan baik. Selain menghindari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hidup
secara berlebihan, hidup sederhana menunjang pencapaian nilai-nilai kehidupan
luhur sebagai tujuan yang perlu diperhatikan oleh manusia. Ketenangan dan
kesejahteraan dalam menjalani hidup berkeluarga akan tercapai karena terhindar
dari kemiskinan yang disebabkan habisnya kekayaan karena berfoya-foya.
a)
Pengertian hidup sederhana
Sederhana dalam kamus besar bahasa Indonesia
memiliki arti “bersahaja” atau tidak berlebihan. Menurut Schumacher (dalam
bukunya “ kecil itu indah”) kesederhanaan memiliki kaitan dengan tanpa
kekerasaan (mukti, 2003 :374). Segala tindakan yang berorientasi pada
kewajaran, tidak berlebihan akan mengurangi bentuk-bentuk perbuatan yang dapat
memancing kekerasaan dan permusuhan. Sumber daya fisik manusia sangat terbatas,
seseorang yang memenuhi kebutuhan melalui jalan penggunaan sumber daya secara
irit akan dapat mengurangi banyak permusuhan, dibandingkan penggunaan secara
berlebihan.
Kesederhanaan bila dikaitkan dengan pemenuhan
kebutuhan hidup, memunculkan definisi : pola kehidupan tidak berlebihan dan
boros maupun pelit dalam memanfaatkan kebutuhan atau kekayaan yang telah
diperoleh dengan sebaik-baiknya serta hanya mengacu pada terpenuhinya kebutuhan
pokok. Secara luas dapat disimpulkan bahwa hidup sederhana dalam kaitannya
dengan bidang ekonomi adalah kehidupan yang jauh dari sifat boros, komsumeris,
berfoya-foya, serta hal-hal lain. Sehubungan dengan pengeluaran kekayaan tanpa
memiliki manfaat. Mengaca dari pengertian ini, muncul padangan bahwa hidup
sederhana memiliki kesamaan dengan hidup seimbang.
“… mengatur
hidupnya dengan seimbang yaitu, tidak boros, maupun pelit…” (A.IV.281).
Hidup dengan tidak berlebihan dalam penggunaan kebutuhan
pokok tetapi memiliki sifat pelit dan kikir belum dapat dikatakan hidup
sederhana dalam arti yang sesungguhnya. Sifat pelit merupakan sifat yang
berlebihan dalam menghemat kekayaan. Buddha di dalam Dhamma Cakkappavattana
Sutta menganjurkan seseorang untuk menghindari kehidupan yang ekstrim. Hidup
seimbang merupakan penghindaran kehidupan secara ekstrim bagi umat perumah
tangga. Hidup seimbang mengatasi pemborosan, berlebihan, mewah, serta pelit.
b) Konsep Dasar kehidupan sederhana
Sederhana tidak memiliki
hubungan dengan kemiskinan karena kesederhanaan bukan berarti miskin. Hidup
sederhana artinya hidup dalam ukuran atau kadar yang wajar, tidak lebih dan
juga kurang. Hidup sederhana mendatangkan kesejahteraan. Salah satu faktor yang
mendukung tercapainya kesejahteraan adalah kebuthan hidup yang etrpenuhi.
Menjalankan hidup secara sederhana tidak berlebihan serta boros, selalu
mempertimbangkan pemasukan bila melakukan pengeluaran, menghindari kebangkrutan
sehingga keluarga tidak menjadi kekurang.
Hedonisme atau gaya hidup mewah
merupakan penyakit social yang akan membawa manusia pada jurang kehancuran .
gaya hidup mewah sering membuat orang malas, berfikir pendek, tak punya
idealisme yang luhur dan cita-cita mulia, mementingkan diri sendiri sehingga
akan bermuara pada rusaknya kualitas sember daya manusia (Gunadi, 2001 : 103).
Menurut aristoleles yang
dimaksud pemborosan adalah penggunaan barang dan jasa yang tidak mengahasilkan
nilai dan kegunaan tinggi. Pengunaan barang dan jasa yang tidak memiliki arti
penting untuk kehidupan, dapat menambah beban keuangan. Pemborosan merupakan
sumber masalah dalam keuangan keluarga. Hidup boros yang dilakukan secara terus
menerus akan menimbulkan deficit terhadap keuangan keluarga.
Kebutuhan setiap keluarga
memiliki perbedaan satu sama lain. Perbedaan kebutuhan terletak pada
ketidaksamaan kondisi kelingkungan, aktivitas harian, tuntutan pekerjaan atau
profesi (Gozali, 2000). Untuk menjalankan pola hidup sederhana dengan baik,
sebuah keluarga mengetahui barang dan jasa yang bernilai guna tinggi atau
rendah. Bila mengetahui kegunaan barang dan jasa, pengeluaran kekayaan dapat
terkontrol pada kehematan dan ketidakborosan.
Rajin, bersemangat dalam bekerja (utthanasampada), hati-hati menjaga
kekayaan (arakkhasampada), memiliki
teman baik (kalyana mitta), memenuhi
kebutuhan sesuai dengan pendapatn, tidak boros dan kikr (sama jivita), adalah tindakan yang menjadi sifat dari kesederhanaan
sebuah keluarga serta sebagai penunjang menjalankan hidup seimbang (A.IV.281).
Bekerja
merupakan suatu sarana untuk memperoleh nafkah atau pemasukan yang dapat
digunakan sebagai penghidupan diri sendiri serta keluarga. Rajin serta bersemangat dalam bekerja akan mendukung terpuhinya
kebutuhan keluarga. Buddha menegaskan jika seseorang sungguh-sungguh dalam
bekerja, menjalankan kewajiban, murni dalam bertingkah laku, selalu waspada,
dan hidup sesuai dengan Dharma maka kemuliaan akan bertambah (Dhp.A.I.238).
Sebaliknya
bila seseorang tidak menjalani hidup dalam kesucian, dan di masa muda tidak
berusaha mencari harta benda, maka di usia lanjut akan menderita seperti seekor
bangau tua yang hidup dalam telaga kering (Dhp.XI.156).
Mengumpulkan kekayaan bagi keluarga yang hidup
sederhana selalu menghindari tindak kekerasan dan melaksanakan mata pencaharian
benar atau samma ajiva merupakan
prinsip bertindak benar dan lurus sesuai dengan profesi seseorang dalam hidup.
Hal ini memiliki arti bahwa pekerjaan yang dijalani tidak membawa malapetaka
bagi makhluk lain.
Memiliki sahabat dan teman yang baik bagi kehidupan seseorang atau keluarga dapat
memiliki pengaruh cukup penting. Sahabat atau teman yang berhati tulus (suhada), yaitu sahabat pada waktu senang
dan susah, penolong, member nasehat baik, serta bersimpatik (D.III.188). akan
membantu menciptakan suasana kondusif dalam menjalankan hidup kesederhanaan
dibangdingakan dengan teman jahat sperti pemborosan, penipu, serta pembohong. Sebuah
keluarga harus memperlakukan keempat macam sahabat berhati tulus tersebut
dengan ramah tamah, bermurah hati, memberikan bantuan, diperlakukan seperti
memperlakukan diri sendiri, dengan berbuat sebaik ucapannya (D.III.188). hal
ini akan menimbulkan hubungan timbale balik yang dapat menciptakan keharmonisan
dalam bersosialisasi.
Memenuhi kebutuhan sesuai dengan pendapatan, tidak
boros dan tidak kikir. Memenuhi kebuthan
sesuai dengan pendapatan adalah cara hidup seimbang, yaitu pengeluaran tidak
melebihi pendapatan yang diperoleh. “ seperti seorang pandai emas, mengetahui
cara menggunakan timbangan, seberapa banyak jarum timbangan naik dan turun,
sedemikian pula seseorang mengetahui pemasukan serta pengeluaran yang dilakukan
(A.IV.281). Buddha menekankan pada para perumah tangga untuk menhindari boros,
namun tidak hidup dengan kikir. Kikir atau keserakahan dapat membawa seseorang
atau keluarga pada alam kesengsaraan.
“…
orang yang sangat kikir tidak akan
terlahir di alam bahagia, orang bodoh tersebut tidak pernah mau bermurah hati…”
(Dhp.XII.177)
“…
setelah dengan benar mengumpulkan kekayaan yang diperoleh dengan usaha sendiri,
seseorang sebaiknya memberikan cukup makanan dan minuman pada makhluk apapun
yang membutuhkannya…”(It.75).
c)
Karakteristik keluarga yang hidup sederhana
Hidup sederhana memiliki karakter selalu menghindari
segala bentuk pemborosan.. hal ini direalisasikan dengan menghindari enam hal
penyebab pemborosan yakni, gemar minum-minuman keras, sering berkeliaran di
jalan pada saat tidak tepat, mengejar tempat hiburan, berjudi, bergaul bersama
teman jahat, serta kebiasaan menganggur (D.III.188).
Minuman keras adalah minuman yang dapat menyebabkan
lemahnya kesadran atau menimbulkan ketagihan. Melemahnya kesadaran
menghilangkan pikiran sehat sehingga seseorang mudah melepaskan segala
milikinya termasuk harta serta melakukan tindakan amoral. Kekayaan kelaurga
tidak terjaga dengan baik bila salah satu anggotanya memiliki kegemaran
tersebut. Bagi perumah tangga, kelalaian mengurus keluarga adalah noda yang
merugikan (Dhp.XVII.241).
“… betapa beratnya penderitaan akibat perubahan
orang jahat, namun pikiran yang tidak terkendali akan membuat seseorang lebih
sengsara…” (Dhp.III.42)
Seseorang yang malas akan mengalami kemerosotan baik
dalam perekonomian kelarga, maupun kesejahteraan. Kemalasan merupakan salah
satu sebab dari penderitaan atau keruntuhan (Sn. I. 96). Keluarga yang malas
dalam mengumpulkan kekayaan akan menjadi bangkrut karena pengeluaran tidak
diimabangi dengan pemasukan. Pada akhirnya keluarga hidup dalam kemiskinan
serta kekurangan. Keburuhan hidup yang diperlukan akan sulit terpenuhi karena
tidak adanya anggaran untuk mendapatkan kebutuhan tersebut.
F.
Vinaya Patimokkha
Vinaya (kata dalam bahasa Pali
dan bahasa Sanskerta, yang berarti 'memimpin',
pendidikan', 'peraturan') adalah landasan peraturan kumpulan monastik Buddhis,
atau Sangha,
berdasarkan naskah-naskah seperti Vinaya
Pitaka. Ajaran Sang Buddha, atau disebut juga "Buddhadhamma"
dapat dibagi menjadi dua kategori yang meluas: 'Dhamma' atau
kepercayaan (doktrin), dan Vinaya, atau peraturan. Istilah lain untuk
Buddhisme adalah "dhammavinaya".Patimokkha (dalam bahasa
Pali), atau Pratimoksha (dalam bahasa Sanskerta) merupakan
kumpulan-kumpulan peraturan yang menjadi inti dari Vinaya. Vinaya disampaikan
secara lisan oleh Sang Buddha kepada para muridnya. Akhirnya, banyak Vinaya
berbeda muncul di dalam Buddhisme, berdasarkan letak geografis atau perbedaan
kebudayaan dan kumpulan-kumpulan Buddhis yang berkembang
Peraturan
kedisiplinan dari seorang bhikkhu dikelompokkan menjadi delapan bagian :
(i) Parajika, (ii) Sanghadisesa, (iii) Aniyata, (iv) Nissaggiya-pacittiya, (v)
Pacittiya, (vi) Paṭidesanīya
(vii) Sekhiya, dan (viii) Adhikaraṇa-samatha.
Kesemua delapan kelompok peraturan kedisiplinan tersebut pada dasarnya sama
untuk mazhab Theravāda dan Mahayana, dengan pengecualian pada bagian Pācittiya
dan Sekhiya. Seorang bhikkhu Theravāda memiliki 92 Pācittiya dan 75 Sekhiya,
sementara seorang bhikkhu Mahayana memiliki 90 Pācittiya dan 100
Sekhiya. Pelanggaran Pārājika dan Sanghādisesa, dua yang pertama merupakan
pelanggaran berat sementara yang lainnya bersifat ringan, yang dapat ditebus
dengan pengakuan kepada bhikkhu yang lainnya. Hanya peraturan-peraturan penting
yang berhubungan dengan umat awam yang akan disebutkan di bawah.
a). Parajika
Ada empat Parājika
atau peraturan yang menyebabkan seorang bhikkhu terkalahkan. Jika seorang
bhikkhu melanggar salah satu dari peraturan-peraturan ini, secara otomatis dia
“dikalahkan” dalam kehidupan suci dan pada saat itu juga dia lepas dari status
seorang bhikkhu. Dia tidak diizinkan untuk menjadi bhikkhu lagi sepanjang
hidupnya. Niat/kehendak adalah faktor yang penting dalam 4 kasus ini untuk
sebuah pelanggaran.
Peraturan 1: Larangan terhadap hubungan seksual. Oleh sebab itu,
ide tentang bhikkhu yang memiliki istri sangat bertentangan dalam ajaran
Buddha.
Peraturan 2: Larangan untuk mencuri barang apapun dengan jumlah
nilai yang besar, sekarang sering diterjemahkan kira-kira lebih dari US$20.
Peraturan 3: Larangan untuk membunuh manusia.
Peraturan 4: Larangan dalam mengutarakan secara tidak benar bahwa
seseorang telah mencapai kekuatan supranormal tertentu, yakni jhāna (meditasi
penyerapan), kekuatan adi duniawi, atau pencapaian salah satu tingkat Ariya.
b). Sanghadisesa
Ketiga-belas
Sanghadidesa di sini adalah peraturan yang membutuhkan pertemuan formal dari
Sangha. Jika seorang bhikkhu melanggar salah satu peraturan darinya, dia harus
menjalani masa percobaan atau disiplin yang sesudah itu, apabila dia
menunjukkan penyesalan dirinya, dia dapat diterima kembali oleh Sangha yang
tidak kurang dari 20 bhikkhu.
Peraturan 2: Larangan melakukan kontak fisik dengan seorang wanita
dengan niat penuh gairah. Karena peraturan inilah maka seorang bhikkhu
menghindari kontak fisik dengan seorang wanita, terutama ketika makanan,
minuman atau apapun diberikan secara langsung kepada seorang bhikkhu.
Peraturan 3: Berhubungan dengan ucapan cabul kepada seorang
wanita, dengan niat penuh gairah.
Peraturan 5: Melarang seorang bhikkhu untuk bertindak sebagai
perantara dalam hubungan pria dan wanita. Hubungan yang intim adalah salah satu
penyebab yang mengikat kita pada lingkaran kelahiran yang berulang-ulang. Maka
seorang bhikkhu tidak diizinkan untuk melangsungkan upacara pernikahan.
Peraturan 13: Berhubungan dengan “Sikap layaknya perumah-tangga”
dan “Berkelakuan buruk”. Seorang bhikkhu “bersikap layaknya perumah-tangga”
jika dia terus menerus berasosiasi secara berlebihan dengan umat awam dan
berkelakuan seperti seorang umat awam. “Kelakuan buruk” adalah kelakuan yang melampaui
tindak-tanduk seorang bhikkhu yang terkendali – bermain-main dengan wanita,
menyenangi permainan, berkelakuan secara bodoh, bernyanyi, menari, dll.
c).
Aniyata
Ini adalah dua peraturan yang tidak
pasti dimana seorang bhikkhu dituduh melakukan pelanggaran dengan seorang
wanita di tempat yang tertutup atau tersembunyi oleh seorang umat awam.
Dikatakan tidak pasti karena hasil akhirnya tergantung pada pengakuan bhikkhu
yang bersangkutan apakah dia melanggarnya atau tidak. Penuduhan tidak dapat
diberlakukan kecuali terdapat cukup bukti. Oleh sebab itu, tidak pantas untuk
seorang bhikkhu bersama sendirian dengan seorang wanita, terutama di tempat
yang tertutup atau tersembunyi.
d).
Nissaggiya Pacittya
30 peraturan pelatihan nissaggiya dapat
diklarifikasikan tiga kelompok landasan pelanggaran nissaggiya, yaitu :
1. Nissaggiya karena material.
2. Nissaggiya karena perilaku bhikkhu.
3. Nissaggiya karena melewati batas waktu.
Pelanggaran nissaggiya karena
material adalah : emas dan perak; barang-barang yang diperkenankan diperoleh
dengan uang; permadani yang dicampur dengan sutra; permadani yang dibuat dari
wool bulu kambing murni dan permadani yang dibuat dari wool kambing hitam
murni.
Pelanggaran nissaggiya karena
perilaku bhikkhu:
a). Menurut sikap
menerima
Menerima jubah dari tangan
bhikkhuni yang bukan sanak keluarganya; jubah yang diminta dari umat awam yang
bukan sanak keluarganya dan tanpa diundang (untuk menerimanya); jubah yang
diminta melewati jumlah yang bukan pada saat yang diperbolehkan meminta jubah;
meminta jubah yang lebih baik dari pada jubah yang diberikan oleh donor;
sehelai juabh yang berkualitas lebih baik sebagai pengganti dua helai jubah
yang akan diberikan oleh donor;meminta sehelai jubah melewati waktu-waktu yang
diizinkan untuk meminta dan menyimpannya; benda-benda yang diperoleh
tukar-menukar dengan umat awam; tidak meminta mangkok pada saat yang diizinkan;
mengambil jubah sewaktu diberikan kepada bhikkhu lain; meminta benang untuk
menenun jubah; meminta penenun-juabh untuk membuat jubah lebih baik daripada
yang dipesan oleh donor jubah; pemberian-pemberian yang dimaksudkan untuk
sangha, tetapi diambil bhikkhu untuk dirinya sendiri.
b). Menurut perilaku bhukkhu
Mencintai bhikkhu yang bukan
sanak keluarganya untuk mencuci, mencelup atau mengeringkan jubah; Membeuat permadani baru yang permadani lama
telah dipergunakan kurang dari enam tahun; membuat permadani baru tampa
dicampuri dengan bagian dari permadani yang lama.
c). Melewati batas jarak
membawa yang diperbolehkan
wool yang dibawa melewati tiga
yojana; meminta dan mebuat jubah kathina lebih cepat dari waktu yang
diperbolehkan.
Pelanggaran nissggiya karena
melewati waktu yang diperbolehkan oleh vinaya. Berdiam terpisah dengan tiga
jubah walaupun hanya satu malam; menyimpan jubah tambahan lewat dari 10 hari;
menyimpan mangkok tambahan lewat dari 10 hari; menyimpan jubah yang melewati
waktu lebih dari sebulan; menyimpan bahan jubah kathina melewati masa khatina;
berdiam terpisah dengan jubah sendiri melewati enam hari, sewaktu bhikkhu
mendapat dispensasi menyimpan obat lewat tujuh hari.
Dengan mengetahui landasan
pelanggaran nissggiya pacaittiya, kita dan atau bhikkhu dapat menjaga jangan
terjadi pelanggaran nissggiya pacittiya.
e). Pacittya
Ada
sembilan puluh dua Pācittiya (peraturan yang membutuhkan pengakuan).
Peraturan 5:
Melarang seorang bhikkhu untuk tidur di penginapan yang sama dengan seorang
umat awam pria atau sāmaṇera (calon bhikkhu) lebih dari tiga
malam secara berturut-turut.
Peraturan 6:
Melarang seorang bhikkhu untuk berbaring di penginapan yang sama dengan seorang
wanita, bahkan seorang gadis kecil. Oleh sebab itu, jika seorang bhikkhu
diundang untuk tinggal bersama umat awam, lebih dikehendaki apabila dia
diberikan ruangan yang dapat dikunci untuk dirinya.
Peraturan 7:
Melarang seorang bhikkhu untuk berbicara lebih dari enam kalimat Dhamma kepada
seorang wanita kecuali di hadapan seorang pria atau anak laki-laki yang
memahami topik pembicaraan. Sebagai intinya, peraturan ini membatasi seorang
bhikkhu untuk berbicara seperlunya saja kepada wanita secara sendirian.
Peraturan 8: Melarang seorang bhikkhu untuk berbicara tentang
pencapaian supranormal dirinya kepada seseorang yang belum diupasampadā penuh.
Pencapaian supranormal berarti pencapaian Jhāna (meditasi penyerapan), kekuatan
adi duniawi, atau tingkat kesucian Ariya (seorang yang Mulia).
Peraturan 9: Melarang seorang bhikkhu dalam mengungkapkan
pelanggaran/kesalahan berat (yakni Pārājika atau Sanghādisesa) bhikkhu lain
kepada seseorang yang belum diupasampadā penuh, terkecuali Sangha memberinya
wewenang.
Peraturan 10: Seorang bhikkhu tidak boleh menggali tanah yang mengandung
kehidupan – ulat, serangga, dan sebagainya... diizinkan bagi seorang bhikkhu
untuk memberi petunjuk kepada seseorang yang belum diupasampadā penuh untuk
menggali tanah, misalnya, “Kita memerlukan lubang sampah”. Tidak masalah bagi
seorang bhikkhu untuk menggali permukaan yang sebagian besar batu, kerikil,
atau pasir, dan timbunan tanah apapun atau tanah liat yang lembab kurang dari
empat bulan lamanya.
Peraturan 11: Seorang bhikkhu juga tidak diperbolehkan untuk merusak
tanaman, termasuk rumput, bunga, buah-buahan, dan seterusnya. Peraturan ini
ditetapkan supaya tidak melukai perasaan orang-orang yang menganggap tumbuhan
memiliki nyawa. Ketika seorang bhikkhu dipersembahkan buah-buahan segar, tauge,
akar umbi, atau bagian tanaman lainnya dengan kehidupan di dalamnya, pendonor
awam seharusnya membuang bijinya atau secara simbolis “membuatnya dapat
dimakan” dengan memotongnya dengan pisau, merusaknya dengan kuku atau api,
kecuali bhikkhu tersebut dapat dengan mudah mengeluarkan bijinya.
Peraturan
ke 10 dan 11 melarang seorang bhikkhu untuk terlibat dalam urusan pertanian,
membuatnya bergantungan pada dukungan umat awam. Ini juga menunjukkan bahwa
umat awam harus membantu memelihara Vihāra, yakni memotong rumput atau semak
belukar, tanaman atau memindahkan pohon-pohon apabila diperlukan, dan
seterusnya.
Peraturan 37 dan 38: Makan pada waktu yang tepat. Waktu makan yang tepat bagi
seorang bhikkhu adalah dalam periode antara subuhsampai dengan waktu matahari
mencapai elevasi tertinggi, sering disebut “tengah hari” tetapi di Malaysia dan
Singapura, waktunya adalah sekitar jam 1.15 petang. Dalam selang waktu ini,
seorang bhikkhu boleh menerima makanannya yang kemudian harus dikonsumsi dalam
periode tersebut. Dia tidak diperbolehkan untuk menyimpan makanan yang tidak
habis dimakan untuk keesokan harinya terkecuali pada saat dilanda kelaparan.
Seseorang yang belum diupasampadā penuh boleh melakukannya.
Peraturan 40: Melarang seorang bhikkhu untuk mengkonsumsi makanan yang
belum dipersembahkan. Maka, merupakan suatu keharusan secara tradisi agar
makanan diserahkan secara formal oleh seorang donatur ke tangan seorang bhikkhu
atau ke dalam mangkuknya.
Peraturan 44 dan 45: Melarang seorang bhikkhu untuk duduk sendirian dengan
seorang wanita di tempat yang tertutup atau tersembunyi – serupa dengan
peraturan aniyata.
Peraturan 48 – 50: Melarang seorang bhikkhu untuk pergi melihat pendirian
daerah militer, pertempuran, pengaturan pertempuran atau peninjauan resimen,
tanpa suatu alasan yang layak, misalnya ketika memberikan kotbah Dhamma,
mengunjungi sanak keluarga yang sakit, dan seterusnya.
Peraturan 51: Larangan terhadap minuman beralkohol, yakni jika warna,
bau atau rasa dari alkohol nyata. Bersamaan dengan peraturan ini, obat bius
yang menyebabkan kelalaian dan kecanduan juga dilarang.
Peraturan 65: Seorang kandidat untuk upasampadā penuh sebagai seorang
bhikkhu harus berusia 20 tahun atau lebih. Dewasa ini, nampaknya tidak ada
suatu batas usia muda yang tetap untuk diterima sebagai seorang sāmaṇera (seharusnya berusia 15 tahun) sepanjang anak laki-laki
tersebut dapat mencuci, makan dan menjaga diri sendiri. Juga nampaknya tidak
ada suatu batas usia lanjut untuk memasuki Sangha, sepanjang kandidatnya tidak
lemah berkenaan dengan usianya dan memenuhi persyaratan umum lainnya.
Peraturan 67: Melarang seorang bhikkhu dari bepergian untuk suatu
perjalanan (keluar dari kota) dengan seorang wanita dengan suatu kesepakatan
yang disetujui terlebih dahulu, terkecuali ada bahaya.
Peraturan 74 dan 75: Melarang seorang bhikkhu untuk bertindak dengan jalan
kekerasan terhadap bhikkhu yang lain.
Peraturan 84: Seorang bhikkhu tidak seharusnya mengambil barang-barang
yang sembarangan ditaruh atau ditinggalkan bahkan untuk menyimpannya,
terkecuali di dalam bangunan Vihāra atau di rumah yang dikunjungi bhikkhu
tersebut.
Peraturan 87: Melarang seorang bhikkhu dari pemakaian perabotan tinggi
dan besar (tempat tidur, sofa, kursi, dan sebagainya.) karena mereka dianggap
sebagai mewah dan tidak sesuai untuk seorang bhikhu. Ada saat-saat tertentu
ketika seorang bhikkhu boleh menggunakan kursi yang tinggi dan besar di Vihāra,
misalnya ketika sedang berkotbah Dhamma. Seorang bhikkhu juga boleh duduk di
perabotan tinggi dan besar ketika mengunjungi rumah seorang umat awam.
Peraturan 88: Melarang perabotan yang dilapisi oleh katun, karena mereka
dianggap terlalu mewah untuk seorang bhikkhu. Pokok dari peraturan ini adalah
bahwa para bhikkhu tidak boleh menggunakan perabotan yang mewah dan berlebihan,
tetapi dewasa ini katun tidak masuk dalam kategori ini.
f).
Patidesaniya
Ada empat
peraturan yang membutuhkan pengakuan. Peraturan
4: Jika sejumlah bhikkhu hidup di area hutan yang terpencil dimana
terdapat laporan tentang perampokkan dan penyerangan terhadap orang yang
bepergian, para bhikkhu diharuskan untuk memberitahukan tentang bahaya tersebut
kepada umat awam yang berkeinginan untuk mengunjungi mereka.
g). Sekhiya
Ada tujuh puluh lima Sekhiya atau Peraturan Pelatihan, yang
sebagian besar membicarakan tentang kelakuan dari seorang bhikkhu. Peraturan 57 – 72: Mengajarkan Dhamma
pada umat awam. Jika seorang umat awam tidak memiliki sikap hormat, seorang
bhikkhu tidak seharusnya mengajarinya Dhamma, misalnya umat awam tersebut duduk
di tempat duduk yang lebih tinggi, berbaring atau memakai topi.
h). Adhikaraṇa-samatha
Ada tujuh peraturan dalam menyelesaikan
proses legal yang hanya berhubungan dengan bhikkhu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hidup
sederhana dalam keluarga menurut pandangan agama Buddha adalah kehidupan yang
diatur secara seimbang (sama jivikata).
Hidup seimbang bagi keluarga adalah kehidupan yang menghindari pemborosan dan
menjahui kekikiran atau pelit. Pemborosan dapat menyebabkan kemiskinan bagi
keluarga kerena sifat ini mengakibatkan pengeluaran lebih besar daridapa pemasukan.
Sifat pelit atau kikir merupakan sifat yang berlebihan dalam menghemat
penggunaan kekayaan, baik untuk orang lain maupun bagi diri sendiri dan
keluarga.
Buddha
menjelaskan bahwa jalan tengah merupakan sesuatu yang akan membawa kebahagiaan,
kehidupan yang dilakukan secara tidak berlebihan akan membawa keberhasilan
serta kesuksesan. Hidup seimbang merupakan kehidupan yang menghindari
berlebihan dalam hubungannya dengan bidang ekonomi. Hidup seimbang merupakan
jalan tengah yang mengatasi pemborosan serta kekikiran.
Seimbang
akan mengatur perekonomian secara baik yaitu pemasukan akan diperbesar daripada
pengeluaran. Melaksanakan hidup seimbang akan memiliki kekuatan untuk mengatasi
hambatan serta penghalang berupa keserahkahan (lobha), keinginan berlebihan (tanha),
dan kemelekatan sebagai sumber utama rintangan dari lingkungan luar seperti
penawaran benda-benda mewah lewat iklan atau pengaruh lain oleh lingkungan konsumer.
B. SARAN
Penulis
menyarankan agar manusia dapat hidup dengan sejahterah dengan hidup sederhana
menghindari gaya hidup yang menimbulkan perilaku komsumtif yang mengakibatkan
penderitaan dan kerugian bagi perumah tangga. Dan etika serta moral dalam
masyarakat akan tetap berjalan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi,Ketut.2002.HidupSederhana,(Online),(http://www.iloveblue.com/anattagotama/arc0-2003.html, diakses 21
Maret 2015).
Bogoda,
Rober.2003. Hidup Sederhana Hidup
bahagia. Terjemah oleh ida Dhammashanti. Bandung. Penerbit : Karaniya.
Mukti,
Wijaya, K. 1991. Diatas Kekuasaan dan
Kekayaan. Jakarta. Penerbit : Dharma Pembangunan.
Mukti,
Wijaya, K. 2003. Wacana Buddha Dhamma.
Jakarta. Penerbit : Dharma Pembangunan.
Diputera,
Oka. 1990. Kumpulan sutta-sutta.
Jakarta. Penerbit : Arya Surya Chandra.
Gunadi.2001.
Sederhana itu Indah. Jakarta.
Penerbit : Republika.
Gozali,Ahmad.2000.Kebutuhanvskeinginan,(Online),(http://www.perencanakeuangan.com/kenutuhanvskeinginan.html, diakses 21
Maret 2015.
Pannavaro,
Sri. 1990. Kumpulan Dhammadesana.
Jakarta. Penerbit : Redaksi Majalah Buddhacakkhu.
Tim
penyusun. 1991. Dhamma Vibhaga
Penggolongan dhamma. Jakarta. Penerbit : Arya Surya candra.
Tim
penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama
Buddha untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha. Jakarta. Penerbit : CV. Dewi
Kayana Abadi.
Tim
penyusun. 1989. Kitab Suci Dhammapada.
Surabaya. Penerbit : Bodhimandala Rumah Suci.
Tim
penejermah. 1987. Itivuttaka. London
: Pali Text Society.
Woodware.
1980. The Book of the kinderd sayings
(Sanyutta-Nikaya) part IV. London. Pernerbit : Pali Text Society.
Hare,
E M.1988. The Book of the Gradual Sayings
(Angutara Nikaya) Vol. III. Oxford. Penerbit : Pali Text Society.
Mahathera,
Dhammavuddho.2011.Peraturan Kedisiplinan
Bhikkhu panduan bagi umat awam,(Online),(http://dhammacitta.org/dcpedia/Peraturan_Kedisiplinan_Bhikkhu:_Panduan_Bagi_Umat_Awam_%28Dhammavuddho%29 , diakses 21
Maret 2015).
Tim
penerjemah.2013. Vinaya, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Vinaya, diakses 21
Maret 2015).
Dharma K.
Widya, Subalaratano.1988.
Pengantar Vinaya. Jakarta. Penerbit : Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda.
0 komentar:
Posting Komentar