MAKALAH
HUBUNGAN PANCASILA BUDDHIS DENGAN PANCADHAMMA
Dosen Pengampu : Rafiadi, S.Ag. M.Pd.B
Disusun
Oleh:
Duty
Metta Setyani
SEKOLAH
TINGGI ILMU AGAMA BUDDHA JINARAKKHITA
BANDAR
LAMPUNG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Agama merupakan
salah satu sumber nilai etika dan moral yang paling penting. Selain nilai etika
dan moral, seringkali juga disebut dengan nilai spiritual. Spiritual artinya
kejiwaan, kerohaniaan, mental, yang jelas terkait dengan moral. Menurut Hans
Kung, setiap agama memang memiliki dogmanya masing-masing yang berbeda satu
sama lain, tetapi etika dab perilaku agama-agama memiliki banyak kesamaan.
Karena unsure kemanusiaan merupakan salah satu kriteria bagi kebenaran suatu
agama.ajaran moral berbagai agama pada umumnya memiliki kesamaan dalam
nilai-nilai yang mendasar, missal mengenai jangan membunuh, jangan berdusta,
jangan berzinah, jangan mencuri. Yang berbeda lebih menyangkut keyakinan pada
dogma, seperti tentang makanan yang haram, puasa, ibadat.
Landasan moral
dalam agama Buddha pada dasarnya bukan berupa perintah atau peraturan,
melainkan pengertian yang mendalam tentang apa yang baik dan apa yang buruk terkait
dengan sebab dan akibat (kamma).
Fakta sederhana bahwa etika umat Buddha berakarkan hukum alam membuat
prinsip-prinsipnya bermanfaat dan dapat diterima oleh dunia modern. Dalam
ajaran Buddha, perbedaan antara yang baik dan yang buruk sangat sederhana
adalah semua tindakan yang memiliki akar dalam ketamakan, kebencian, dan
khayalan yang timbul dari keegoisan.
Moralitas dalam
ajaran Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju tujuan akhir kebahagiaan
tertinggi. Dalam jalan umat Buddha menuju pembebasan, setiap individu dianggap
bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kemalangannya sendiri. Setiap
individu diharapkan mengupayakan pembebasannya sendiri melalui pemahaman dan
usaha. Dengan menjalankan sila dan memahami pancadhamma, tidak hanya
mengembangkan kekuatan moral, tetapi juga melakukan pelayanan tertinggi bagi
sesame untuk hidup dalam kedamaian.
Moralitas yang
ditemukan dalam semua prinsip itu dapat dirangkum dalam tiga prinsip sederhana
: “Hindarkan kejahatan; lakukan
kebajikan; sucikan pikiran. Inilah nasihat yang diberikan oleh semua Buddha.”
(Dhammapada 183)
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan sila?
2.
Apa pengertian dari pancasila?
3.
Apa yang dimaksud dengan pancadhamma?
4.
Bagaimana hubungan antara pancasila
dengan pancadhamma?
C.
Tujuan
1.
Memahami tentang hakikat sila.
2.
Memahami penegertian dari pancasila.
3.
Mengetahui makna sila-sila dari
pancasila.
4.
Mengetahui pengertian dari pancadhamma.
5.
Memahami maksud dari pancadhamma.
6.
Memahami dan mengetahui hubungan
pancasila dengan pancadhamma.
D.
Manfaat
Pembaca
mampu menganalisa bagaimana hubungan antara pancasila dengan pancadhamma,
memahami isi seta makna dari pancasila dan pancadhamma. Mampu sebagai pedoman
dan pengetahuan dalam melaksanakan lima sila (pancasila) yang didasari
pancadhamma. Dan pembaca lebih mudah menjalankan sila setelah memahami pancadhamma.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Sila
“Etika” dalam
bahasa Indonesia adalah “tata susila”. “tata” menunjukan kaidah aturan dan
susunan atau sistem. “su” berarti baik, dab “sila” adalah aturan yang
melatarbelakangi perilaku seseorang, kelakuan atau perbuatan yang menurut adab.
Sinonim dari “sila” adalah adab, akhlak, moral. “Susila” diartikan sebagai budi
bahasa yang baik, atau juga adat-istiadat yang baik, kesopanan, dan pengetahuan
atau ilmu tentang adab (KBBI).
“Sila” dalam
agama Buddha sering diterjemahkan sebagai “maral, kebajikan, atau perbuatan
baik.” Ajaran Buddha tentang sila adalah etika Buddhis, petunjuk dan latihan
moral yang membentuk perilaku yang baik. Menurut kosakata bahasa Pali, “sila”
dalam pengertian luas padanannya adalah “etika” dan dalam pengertian sempit
padanannya adalah “moral”.
Menurut
bentuknya sila dibedakan atas dua aspek perumusan, yaitu : negaif (varitta-sila) dan positif (caritta-sila). Yang pertama penolakan
terhadap perbuatan yang buruk, dan yang kedua merealisasikan perbuatan yang
baik. Setiap rumusan sila mengandung aspek yang berpasangan dan saling
bergantungan. Kedua aspek itu jelas terlihat pada ajaran semua Buddha : “Jangan
berbuat jahat; perkembangkan perbuatan yang baik; sucikan hati dan pikiran”
(Dhammapada 183). Perumusan sila yang bersifat pantangan tidak bisa dikatakan
pasif. Menghindari perbuatan jahat, memiliki sisi lain, yaitu melakukan
kebajikan.
Secara detail
pola perumusan ini antara lain ditemukan dalam Brahmajala-sutta. “Petapa Gotama menghindari pembunuhan, ia
membuang pentungan dan pedang, dan malu melakukan kekerasan. Dengan penuh cinta
kasih, ia hidup mengasihi dan menyayangi semua makhluk” (D. I, 4). Aspek negative
menhindari pembunuhan dan aspek positif menyanyangi atau menghargai kehidupan
semua makhluk. Aspek negative merupakan pendahuluan dari aspek positif,
menyiapkan lahan yang baik untuk aspek positif. Seumpama menanam padi di sawah
terlebih dahulu harus membersihkan sawah dari rumput, agar padinya dapat tumbuh
dengan baik dan member hasil yang diharapkan.
Sila terkait
dengan kamma dan sebab akibat. Sila yang baik membuahkan kebahagiaan dan
pelanggaran sila menimbulkan penderitaan.
Sila berguna untuk orang-orang pribadi, yaitu melindungi orang yang
melaksanakan, membuatnya menjadi manusia halus budi dan sempurna, yang mampu
melepaskan diri dari penderitaan. Dalam kehidupan bermasyarakat, sila
mengendalikan nafsu indera sekaligus mengendalikan hubungan antarmanusia.
“Bagai seorang gembala dengan tongkat mengawasi ternak-ternaknya, sehingga
mereka tidak berkeliaraan dan merusak tanaman orang lain.” (Mahaparinirvanapacchimovada-sutra).
Faedah dari
pelaksanaan sila terutama adalah tiadanya penyesalan(avippatisaro) sebagai tujuan dan buahnya (A. V, 1). Dengann
memiliki sila seseorang akan dicintai, dihormati dan dihargai oleh orang lain
(M. I, 33).
Sila merupakan
tahap permulaan untuk memasuki kehidupan yang lebuh luhur dan orang yang
melaksanakannya akan memperoleh kebahagiaan duniawi dan surgawi. Dalam Mahaparinibbana-sutta di hadapan para
perumah tangga Buddha mengemukakan manfaat dari pelaksanaan sila : (1) membuat
orang bertambah kaya; (2) mendatangkan nama baik; (3) menimbulkan percaya diri
dalam pergaulan dengan berbagai golongan manusia; (4) member ketenangan disaat
kematian; (5) setelah meninggal dunia, akan terlahir kembali kea lam sutga (D.
II, 86).
Sebagai
peraturan sila disebut silasikkha
atau sikkhapada atau vinaya, yang
digolongkan menurut kelompok penganut. Vinaya bgi golongan perumah-tangga
dinamakan Agariya-vinaya, terdiri
dari varitta-sila yaitu pancasila dan
Atthangika Uposatha, serta caritta-sila yaitu petunjuk-petunjuk
yang di antaranya dinyatakan dalam Sigalovada-sutta,
Vyaggapajja-sutta, Mangala-sutta, dan Parabhava-sutta.
Vinaya bagi golongan petapa dinamakan Anagariya-vinaya,
antara lain berupa Petimokkha-sila
untuk bhikku-bhikkhuni dan Dasasikkhapada
untuk samanera-samaneri.
Seringkali orang
menganggap peraturan adalah beban dan ikatan yang membatasi kebebasan. Padahal
sebenarnya, sebagaimana dinyatakan oleh Buddha, Dharma merpakan rakit atau
alatt untuk menyebrang, perlu untuk menyelamatkan diri, bukan untuk dijadikan
beban (M. I, 135). Sila dan vinaya justru dibutuhkan oleh mereka yang ingiin
mencapai kebebasan. Dengan mematuhi sila dan vinaya orang akan mampu melepaskan
dirinya dari ikatan belenggu nafsunya sendiri, sehingga berhasil menyelamatkan
diri dan mencapai kebebasan.
A.1. Pengertian Sila
Kata
sila sperti diterangkan dalam kamus bahasa Indonesia adalah “sila sebagai kata
benda berarti aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa;
kelakuan atau perbuatan menurut adab (sopan santun); dasar; adab ; akhlak.”
Kata sila yang dimaksud disini adalah merupakan kosakata bahasa Pali yang dalam
perngertian luas adalah etika. Sila dalam pengertian yang luas adalah termasuk
didalamnya perbuatan melalui pikiran atau kehendak (cetana). Dalam pengertian
yang sempit adalah moral. Sila dalam pengertian yang sempit adalah hanya
mencakup perbuatan jasmaniah.
Kata etika berasal beberapa kata yunani yang
hamper sama bunyinya, yaitu ethos dan
ethos atau ta ethika. Kata ethos
artinya ‘kebiasaan,adat’. Kata ethos
dan ethikos lebih berarti
‘kesusilaan, perasaan batin’, atau ‘kecenderungan hati dengan seseorang
melakukan perbuatan’. Dalam bahasa latin, istilah-istilah ethos, ethos dan ethikos itu disebutkan dengan kata mos
dan moralitas. Oleh sebab itu kata etika sering pula dijelaskan dengan kata
moral.
Tetapi
dalam perkembangan berikutnya kata etika
itu kemudian mendapat arti yang lebih mendalam daripada kata moral. Kata moral
telah lebih mendangkalkan artinya hanya berarti perilaku lahiriah seseorang,
sedangkan etika tidak hanya menyinggung perbuatan lahiriah saja, tetapi juga
kaidah dan motif perbuatan seseorang yang lebih dalam.
Verkuyl
mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan etika dalam bahasa Indonesia adalah
‘kesusilaan’. Kata kesusilaan berasal dari kata su dan sila yang mendapat
awalan ke- dan akhiran-an. Su berarti ‘bagus, baik’, maka kesusilaan berarti
‘hal-hal yang berkenaan dengan sila yang baik’. Selanjutnya Verkuyl mengatakan
bahwa istilah sila yang berasal dari bahasa sanksekerta dan pali yang
dimaksudkan kedalam kebudayaan Buddhis mempunyai banyak arti. Pertama, berarti
‘norma (kaidah), peraturan hidup, perintah’. Kedua, kata itu menyatakan pula
keadaan batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga ‘sikap,
keadaan, perilaku, sopan-santun’ dan sebagainya.
Sila
pertama kali di ajarkan oleh sang Buddha kepada lima petapa yanga bernama
Assajji, Vappa, bhadiya, Kondana, dan Mahanama sewaktu membabarkan Empat
kesunyataan Mulia yang kemudian disebut Dhammacakkapavattana
sutta. Dalam sutta tersebut disebutkan adanya Jalan Menuju Lenyapnya
Dhukkha yang dinamakan Jalan Tengah dan disebut Jalan Berunsur Delapan, karena
terdiri dari delapan unsure, yaitu pandangan benar, pikiran benar, ucapan
benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, kesadaran benar, dan
Samadhi benar. Jalan tersebut harus dikembangkan untuk melenyapkan dukkha.
Dalam
Cullavedalla sutta disebutkan bahwa :
ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar termasuk ke dalam kelompok
sila. Usaha benar, kesadaran benar, dan Samadhi benar termasuk dalam kelompok
Samadhi. Pandangan benar dan pikiran benar termasuk dalam kelompok Panna.
Sila
merupakan dasar utama dalam pengalaman ajaran agama, merupakan langkah pertama
yang sangat penting untuk mencapai peningkatan batin yang luhur. Hal ini sesuai
dengan sabda Buddha dalam kitab suci, antara lain :
“Apakah
permulaan dari batin yang luhur? Sila yang sempurna” (Samyutta Nikaya V, 143).
“…
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya
matahari. Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia
Berunsur Delapan…” (Silasampada sutta,
Suryapeyyala).
“…
Bergantung pada tanah, biji tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dan berkembang.
Demikian pula, timbul dan berkembangmya Jalan Mulia Berunsur Delapan bergantung
pada kesempurnaan sila…” (Balakarniya
sutta).
A.2. Dasar-dasar pelaksanaan Sila
Kabajikan seseorang tidak tergantung
kepada penampilan luar (badan, wajah, atau keturuunan), akan tetapi tergantung
dari perilaku (kamma) oramg tersebut. Perbuatan baik dapat diumpamakan seperti
tumbuhnya pohon, pohon akan tumbuh dengan baik bila disokong dengar air, udara,
pemupukan serta pemeliharaan dengan baik. Demikian pula perbuatan baik (sila)
akan dapat dilaksanakan dengan baik didasarkan kepada factor Sati dan
Sampajanna serta Hiri dan Ottapa.
A.2.1. Sati
Sati artinya cetusan keadaan batin,
misalnya cetusan batin untuk membaca buku. Dalam pelaksanaan Dhamma dan
aktivitas sehari-hari sati dimaksudkan sebagai ingatan, perhatian, kewaspadaan,
serta kesadaran sebelum melakukan perbuatan. Lawan dari sati adalah “lupa”.
Agar tidak melalaikan pekerjaan karena lupa maka sati harus dijaga setiap saat.
Contoh sati dalam kehidupan sehari-hari adalah :
1.
Si A ingat bahwa membuang sampah
sembarangan adalah karma buruk.
2.
Si B ingat bahwa menyelewengkan uang SPP
adalah termasuk mencuri.
3.
Si C ingat bahwa mencontek adalah
perbuatan bodoh, dll.
Sati
merupakan factor yang snagta penting untuk mendukung sila (perbuatan baik)
seseorang. Orang yang tidak memiliki sati atau kehilangan sati diibaratkan
seperti orang yang “sakit jiwa” karena orang yang sakit jiwa Citta (pikiran)
nya dapat bekerja, tetapi sati (ingatan) nya tidak dapat bekerja sehingga tidak
mempunyai pengendalian diri.
Sati
sebenarnya tidak mudah luntur walaupun kita sakit bertahun-tahun, tidak makan
berhari-hari, bekerja keras, dan lain-lain. Sati akan luntur dan hilang dari
diri seseorang, jika ia minum minuman keras dan sejenisnya. Larangan untuk
tidak minum minuman keras dan sejenisnya adalah penegasan pentingnya sati dalam
kehidupan sehari-hari. Sati dapat dikembangkan drngan berbagai cara, misalnya
dengant membuat buku catatan harian, memasang bel, memasang/menempel kertas di
suatau tempat, menghindari barang-barang yang memabukkan, melakukan meditasi
perenungan, dll.
A.2.2 Sampajanna
Sampajanna
yaitu muncul kesadaran ketika sedang melakukan kegiatan. Dhamma ini sangat
membantu untuk tumbuhnya kabaikan sama seperti halnya sati. Pada umumnya
kesadaran demikian membawa manfaat, misalnya mereka menyadari bahwa mereka
sedang melakukan kejahatan dan berusaha melakukan sebaik mungkin serta
berhati-hati. Mereka menyadari bahwa mereka sedang berbohong dan berusha agar
pembicaraan itu dipercaya oleh orang lain.
Sampajanna
yang dimaksudkan disini adalah bukan kesadaran ketika melakukan kejahatan,
tetapi kesadran yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Jenis
kesadaran ini (sampajanna) adalah
bila disertai dengan empat cirri dari Sampajanna
yaitu:
1)
Menyadari manfaat yang sedang kita
lakukan.
2)
Menyadari bahwa apa yang sedang kita
lakukan sesuai atau tidak dengandiri kita sendiri.
3)
Menyadari bahwa apa yang kita lakukan
akan menimbulkan suka atau duka.
4)
Menyadari bahwa apa yang kita lakukan
itu merupakan suatu kebodohan atau didasari pengertian yang benar.
Keempat
faktor kesadaran tersebut merupakan faktor dari sampajanna dan memberikan
kesadaran bagi kita untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang sia-sia, tidak
sesuai dengan posisi kita, serta dengan cara yang keliru. Dengan adanya
kesadaran ini maka kita dapat menyesuaikan diri dan menambah kebajikan. Bila
tidak memiliki kesadaran maka dapat terjadi hal-hal misalnya seperti,
murid-murid tidak akan naik kelas jika selalu melamun dan tidak mengerti apa
yang diajarkan guru.
A.2.3. Hiri
Hiri
bersumber dari dalam diri sendiri, bersifat otonom, timbul sendiri, berbentuk
rasa malu, ditandai adanya sifat konsisten dengan kebenaran, sumber subyektif
dari hiri adalah pandangan dari ide-ide yang berhubungan dengan kelahiran
(misalnya saya lahir dari keluarga baik-baik maka seharusnya malu untuk berbuat
jahat), usia (misalnya saya sudah dewasa mka saya malu untuk berbuat
kejahatan), kedudukan sosial (misalnya saya adalah seorang pelajar maka saya
malu kalau melakukan kejahatan), kehormtan diri (misalnya saya adalah orang
yang dihargai masyarakat saya akan malu kalau sya berbuat jahat), dan tingkat
pendidikan (misalnya saya adalah orang yang berpendidikan maka saya malu kalau
saya melakukan kejahatan).
Maka
seseorang yang memilik hiri akan berfikir “hanya orang-orang bodoh, anak-anak
dan orang yang tidak perpendidikan yang tidak memiliki rasa malu untuk berbuat
jahat”. Oleh karena itu saya akan menghindari pendangan yang salah dan
melakukan perbuatan baik. Dengan hiri, seseorang bercermin kepada kehormatan
dirinya, kelahirannya, gurunya, kedudukannya, pendidikannya, atau masyarakat
dimana berada. Apabila seseorang memiliki hiri, maka dirinya sendirilah yang
paling tepat menjadi guru dan pengawasnya yang terbaik.
A.2.4. Ottapa
Ottapa
yang berarti memiliki rasa takut untuk berbuat jahat lebih bersumber dan
dipengaruhi oleh hal-hal luar diri kita, bersifat heteromus, lebih dipengaruhi
oleh lingkungan dan masyarakat. Jika hiri terbentuk oelh rasa malu, tetapi
ottapa dibentuk oleh rasa takut. Ottapa ditandai dengan adanya kemampuan
mengenal bahaya dan takut melakukan kesalahan.
Sumber
eksternal dari ottapa adalah pandangan dan ide-ide bahwa sesuatu yang
“berkuasa” akan mempersalahkannya, maka ia menghindari perbuatan yang salah.
Dengan ottapa, seseorang takut pada dirinya sendrir, takut dipersalahkan orang
lain, dll. Apabila seseorang lebih sensitive terhadap ottapa, maka sebaiknya
mengikuti bimbingan dan peraturan dari seseorang ataupun dari suatu ajaran yang
baik yang diyakininya.
Untuk
menunjang pelaksanaan sila pada diri seseorang. Hiri dan ottapa akan snagta
membantu. Hiri adalah perasaan malu, sikap batin yang merasa malu bila
melaksanakan kesalahan atau kejahatan.
Ottapa artinya enggan berbuat salah atau jahat. Sikap batin yang merasa
enggan atau takut akan akibat perbuatan salah atau jahat yang akan dilakukan.
“…
Ada dua hal yang jelas, oh Bhikkhu, untuk melindungi dunia. Malu dan takut,
bila kedua dhamma ini tidak menjadi pelindung dunia, maka seseorang tidak akan
mengharagai ibunya, tidak menghargai bibinya, tidak menghargai kakak iparnya,
tidak menghargai istri gurunya…” (Anguttara nikaya II, 7)
B. Pancasila
Pancasila adalah ajaran
dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila ini berasal dari bahasa Sanskerta pañcaśīla dan berarti adalah Lima Kemoralan. Pancasila Buddhis digunakan untuk seseorang yang akan
memasuki kehidupan beragama Buddha. Sang Buddha bersabda bahwa, “Barang siapa
sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu
berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan
mencintainya (Dhammapada, XVI: 217).
Lima aturan moral
(pancasila diajarkan Buddha untuk seseorang yang berkeinginan untuk mencapai
kehidupan yang damai sehingga mendukung kebahagiaan keluarga dan masyarakat.
Pancasila dilakukan secara sukarela oleh umat Buddha perumah-tangga (upasaka dan upasika). Pancasila tidak harus dijalani dengan ekstrim. Pancasila memebentuk basis
moral universal dalam kebajikan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang sangat
penting untuk permulaan latihan dalam jalan Buddhis.
Dalam pengalaman kehidupan beragama, setiap
umat Buddha pada setiap kesempatan , khususnya dalam suatu upacara keagamaan,
selalu meminta sila seperti Pancasila dan Atthangika Uposatha kepada seorang
bhikkhu. Tindakan ini mempunyai nilai spiritual, karena telah mengucapkan
tekadnya untuk melaksanakan sila di hadapan
seorang bhikkhu, panutan umat Buddha yang senatiasa menjaga kesucian
sila. Pancasila adalah latihan moral yang tahap pertama dari seseorang memasuki
kehidupan beragama menurut agama Buddha. Sila ini dilaksanakan dengan baik akan
membawa kemajuan, kemakmuran besar, kehidupan surga, baik sebagai manusia atau
sebagai dewata. Pancasila terdiri dari lima latihan moral, yaitu :
B.1. Sila pertama
Panatipata veramani sikkhapadam smadiyami
(aku bertiked akan melatih diri untuk tidak melakukan pembunuhan mahluk
hidup). Menghargai kehidupan dengan
tidak membunuh dan melindungi kehidupan, merupakan melatih welas asih dengan
melindungi dan menguntungkan semua kehidupan. Menyadari penderitaan yang
disebabkan oleh penghacuran kehidupan, akan berusaha mengembangkan welas asih
dan melindungi kehidupan manusia, hewan, dan tanaman (melindungi alam semesta).
Panatipata terdiri dari kata pana dan
atipata. Kosakata pana secara harfiah berarti ‘makhluk’ atau ‘kehidupan’ dan
atipata berarti ‘lepas dengan cepat’.
Gabungan kedua kosakata itu mempunyai makna ‘membuat suatu makhluk
mengalami kematian’, atau ‘kehidupan mati’ , atau ‘meninggal sebelum waktunya’.
Jadi, panatipata dapat disepadankan dengan kata ‘pembunuhan’.
Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat
lima faktor :
1) Ada makhluk hidup
2) Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup
3) Berniat untuk membunuh
4) Melakukan usaha untuk membunuh
5) Makhluk itu mati melalui usaha itu.
Perbuatan buruk lain yang termaksuk dalam
pelanggaran sila pertama ini adalah :
1) Membunuh manusia dan hewan
2) Menyiksa manusia dan binatang
3) Menyakiti manusia dan hewan
Akibat buruk dari pembunuhan adalah :
1) Pendek umur
2) Banyak penyakit
3) Senantiasa sedih
4) Selalu dalam ketakutan
Maksud dari sila ini adalah melatih
rasa simpati, cinta kasih (maitri dan kasih sayang (karuna)). Bila rasa simpati
berkembang pada tingkatan tertinggi, ia akan menjadi mitri dan karuna. Kita
harus melatih maitri karuna melalui latihan sila jangan membunuh. Dari jangan
membunuh manusia, kita harus mengembangkannya pada semua makhluk termasuk semua
makhluk yang kecil. Kita berusaha agar pikiran membunuh tidak muncul. Kebencian
adalah penyebab utama pembunuhan. Sila jangan membunuh menolong kita mengakhiri
keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Jika kita dapat memahami prinsip di
balik sila ini, kita akan menyadari bahwa cukup mudah untuk menaati sila jangan
membunuh.
Banyak
orang memiliki masalah untuk menjadi vegetarian. Menjadi vegetarian adalah hal
yang baik, tetapi kita harus memahami tujuan sebenarnya. Tujuan menjadi
vegetarian adalah untuk berlatih maître dan karuna. Kita harus belajar
mencintai dan merawat binatang kecil dan juga manusia. Kita harus memperhatikan
orang lain, merasa simpati terhadap kebodohan orang lain dan menolong mereka.
Dengan menjadi vegetarian, maka telah melatih diri untuk tidak membunuh. Dalam
hal ini menolong kita mengembangkan maître dan karuna. Hal yang penting disini
juga adalah memahami bahwa tujuan tidak membunuh adalah untuk melatih perasaan
simpati, cinta kasih dan kasih sayang.
Jika muncul suatu dendam terhadap siapa pun, maka orang
seharusnya mengembangkan cinta kasih (metta) terhadapnya atau kasih sayang
(karuna) atau ketenang-seimbangan (upekkha). Dengan cara itu orang dapat
menghilangkan dendam terhadap orang itu. Atau orang seharusnya tidak
memperhatikan dan tidak memikirkan dia. Dengan cara itu orang dapat
menghilangkan dendamnya. Atau orang dapat menerapkan 'fakta kepemilikan
kamma' terhadap orang itu: "Orang
terhormat ini adalah pemilik perbuatan-perbuatannya, pewaris perbuatan-
perbuatannya; perbuatan-perbuatannya adalah kandungan (dan dari situ dia
telah muncul), keluarganya dan pelindungnya. Apa pun perbuatan yang dia lakukan
- baik atau buruk- dialah yang akan menjadi pewarisnya." Inilah
lima cara untuk bebas dari dendam, yang dengannya seorang bhikkhu dapat
menghilangkan semua dendam yang telah muncul di dalam dirinya. (Anguttara
Nikaya V, 161)
B.2. Sila kedua
Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
(aku bertekad akan melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak
diberikan). Mengahargai milik orang lain
dengan tidak mencuri maka telah melatih kemurahan hati dengan berbagi dan
memberikan kekayaan materi spiritual milikku. Menyadari penderitaan yang
disebabkan oleh eksploitasi, ketidakadilan, pencurian, penindasan, akan
berusaha untuk mengembangkan cinta kasih untuk kehidupan yang lebih baik bagi
manusia dan hewan. Aku akan berlatih bersikap sopan dan murah hati dengan
berbagi kekayaan, waktu, energy, simpati, memberikan semangat dan sumber-sumber
lain, khususnya kebenaran, bagi yang membutuhkannya. Aku berusaha untuk tidak
mencuri sesuatu ( termaksuk waktu, misalnya dengan terlambat atau tidak
bertanggung jawab saat bekerja) milik orang lain. Aku akan menghargai milik
orang lain dan milik umum, dan mencegah orang lain mendapatkan keuntungan di
atas penderitaan makhluk lain.
Adinnadana berasal dari kata a, dina dan
dana. Kata a merupakan sebuah kata sangkalan dan dinna berarti ‘barang yang
diberikan oleh pemiliknya’, maka adinna berarti ‘barang yang tidak deberikan
oleh pemiliknya’. Kata adana berarti ‘mengambil barang atau merampas’. Gabungan
ketiga kosa kata itu menjadi ‘ mengambil barang yang tidak diberikan oleh
pemiliknya’. Jadi, adinnadana dapat disepadankan dengan kata ‘pencurian’.
Suatu
perbuatan disebut mencuri bila memenuhi lima faktor :
1) Ada barang milik orang lain
2) Mengetahui bahwa barang tersebut ada
pemiliknya
3) Berniat untuk mencurinya
4) Melakukan usaha untuk mengambilnya
5) Berhasil mengambilk melalui usaha itu
Perbuatan yang termaksuk dalam pelanggaran
sila kedua ini, yang harus kita hindari adalah :
1) Mencuri, mencopet, menjambret, merampok dan
sejenisnya
2) Korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, penggelapan
barang atau uang dan sejenisnya
3) Berjudi, taruhan, mengikuti undian dan
sejenisnya
Akibat buruk dari perbuatan mencuri adalah :
1)
Lahir
dalam keadaan miskin
2)
Sering
dinista dan dihina
3)
Dirangsang
oleh keinginan yang senantiasa tidak tercapai
4)
Hidupnya
selalu bergantung pada orang lain.
Sila
jangan mencuri secara tidak langsung membantu kita menaati sila jangan
membunuh. Tubuh kita adalah sebuah kehidupan. Agar kehidupan bertahan
diperlukan makanan dan pendukung. Hidup manusia adalah kehidupan intern. Sila jangan membunuh adalah
sebuah aturan untuk tidak membunuh kehidupan intern. Sila ini adalah sebuah
aturan untuk kehidupan ekstern.
Mencuri kepunyaan orang lain daoat mengakibatkan orang lain berada dalam
kesulitan dalam mempertahankan gaya hidup sehingga mengancam hidup.
B.3. Sila ketiga
Kamesumicchacara veramani sikkhapadam
samadyami (aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan
asusila, berhubungan dengan subyek dan obyek kepuasan indria. Menhargai
hubungan pribadi dengan tidak terbawa perasaan maka telah melatih kepuasan hati
dan menggali energiku untuk kemajuan spiritual. Menyadari penderitaan
disebabkan oleh perbuatan asusila. Aku berusaha mengembangkan rasa tanggung
jawab dan melindungi kemanan dan keutuhan pribadi, pasangan, keluarga, dan
masyarakat. Aku berusaha tidak berhubungan seks tanpa cinta, tanggung jawab,
dan komitmen jangka panjang. Untuk memelihara kebahagian diriku dan orang lain,
aku kan menhargai pernikahan orang lain. Aku kan berusaha semampu mungkin
melindungi anak-anak dari tindakan asusila, dan melindungi pasangan dan
keluarga dari perpecahan akibat perbuatan asusila. Menyadari penderitaan yang
disebabkan karena menuruti kepuasan indera, aku tidak akan lalai, agar tidak
terbawa oleh indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasa, paraba, dan
atau pikiranku dalam kepuasan indera (seperti pertunjukan, music, makanan,
seks, dll), supaya aku tidak keluar dari jalan pengembangan diri.
Kamesumicchacara terdiri dari kosa kata kama,
miccha, dan cara. Kata miccha berarti ‘salah’ atau ‘menyimpang’, dan cara
berarti ‘pelaksanaan’ atau ‘perilaku’. Sedangkan kamesu merupakan bentuk jamak
dari kata kama yang artinya ‘nafsu akan kesenangan indrawi’. Jadi,
kamesumicchacara berarti ‘pemuasan nafsu indrawi yang menyimpang (dari yang
dibenarkan)’ atau dengan kata lain ‘melakukan nafsu indrawi secara salah’.
Dalam konteks ini kamesumicchacara diartikan dengan ‘melakukan hubungan kelamin
yang salah’ atau sering disepadankan dengan melakukan perbuatan ‘zinah’.
Suatu perbuatan disebut melanggar sila ketiga
ini, bila memenuhi empat faktor atau syarat, sebagai berikut :
1) Ada orang (obyek) sebagai sasaran
2) Mempunyai niat untuk melakukan
3) Melakukan usaha untuk berbuat asusila
4) Berhasil melakukan perbuatan asusila
Perbuatan yang perlu dihindari dalam
pelaksanaan sila ini adalah :
1) Berzinah (melakukan hubungan kelamin yang
bukan suami/istri)
2) Berciuman dengan disertai hawa nafsu birahi
3) Menyenggol, mencolek dan sejenisnya yang
disertai nafsu birahi.
Akibat buruk dari perbuatan asusila :
1) Mempunyai banyak musuh
2) Beristri/bersuami dengan orang yang tidak
dicintai
3) Terlahir sebagai orang yang tidak normal
fungsi seks-nya
Ini adalah sila
yang sangat sulit ditaati oleh para pengusaha dan anak muda. Perbuatan asusila
adalah salah satu alas an yang menyebabkan banyak orang kehilangan kesempatan
untuk menjadi manusia lagi. Hanyan hubungan seks antara suami dan istrti yang
diperolehkan hukum, dan semua hubungan seks lainnya dianggap sebagai perbuatan
asusila. Nafsu seks adalah factor utama yang menyebabkan
perpindahan-perpindahan di alam tumimbal lahir dan terus menderita. Kita
dilahirkan di dunia ini karena kasadaran kita tertarik pada hubungan badan
orang tua kita sehingga menyebabkan kehidupan bermula. Umat Buddha harus
berusaha mengendalikan nafsu seks dan selalu penuh perhatian. Agar dapat
bertumimbal lahir sebagai manusia kembali, kita perlu menaati sila jangan
berbuat asusila.
B.4. Sila keempat
Musavada veramani sikkhapadam samadyami (aku
bertekad akan melatih diri untuk tidak mengucapkan ucapan yang tidak benar).
Menghargai kebenaran dengan tidak berbohong maka telah melatih untuk
berkomunikasi secara positif. Menyadari penderitaan yang disebabkan oleh ucapan
yang tidak berguna dan ketidakmampuan mendengarkan orang lain, akan berusaha
mengembangkan ucapan yang penuh cinta kasih, serta berusaha mendengarkan orang
lain agar membawa kegembiraan dan kebahagiaan bagi mereka dan membebaskan
mereka dari penderitaan mereka. Aku kan berusaha jujur dengan perkataan yang
menimbulkan kepercayaan diri, kegembiraan, dan harapan. Aku berusaha untuk
tidak menyebarkan berita, mengkritik atau mengutuk sesuatu yang tidak kuketahui
dengan pasti. Aku akan menahan diri tidak mengucapkan perkataan yang dapat
menyebabkan perpecahan atau perselisihan dalam keluarga atau masyarakat. Aku
akan berusaha mendamaikan dari memecahkan masalah besar ataupun kecil.
Musavada terdiri dari dua kata yaitu musa dan
vada. Kata musa berarti ‘ sesuatu yang tidak benar’ dan vada berarti ‘ucapan’.
Gabungan kedua kosa kata itu mengandung
makna ‘mengucapkan sesuatu yang tidak benar’. Istilah musavada dapat
disepadankan dengan kata ‘berbohong’.
Musavada (berbohong) telah terjadi bila
terdapat empat faktor :
1) Sesuatu hal yang tidak benar
2) Mempunyai niat untuk menyesatkan
3) Berusaha untuk menyesatkan
4) Orang lain jadi tersesat.
Akibat buruk dari berbohong adalah :
1) Menjadi sasaran pembicaraan yang tidak baik
2) Menjadi sasaran penghinaan
3) Tidak dipercaya oleh masyarakat
Musavada tergolong perbuatan buruk dan dapat
dibedakan menurut akibatnya pada alam kelahiran. Suatu kebohongan tidak akan
menyeretnya kea lam kelahiran yang rendah misalnya alam neraka, setan, asura
atau binatang. Apabila tidak menimbulkan
kerugian yang berarti kepada yang dibohongi. Misalnya seorang dokter yang
berbohong tentang penyakit pasiennya dengan tujuan agar orang yang sakit itu
tidak cemas atau mengalami goncangan batin yang dapat membuat penyakitnya lebih
parah lagi. Demikian pula jika seseorang menolak member pinjaman uang karena
alas an peminjaman tidak masuk akal atau untuk hal yang tidak berguna dengan
berkata ‘tidak punya uang’. Kebohongan ini tidak akan menyeretnya ke alam
kelahiran yang rendah. Akan tetapi, jika merugikan orang lain akan berakibat
buruk baginya, misalnya memberikan kesaksian palsu dalam pengadilan sehingga
orang lain dihukum penjara. Musavada dalam pengertian yang lebih luas mencakup
memfitnah, berkata kasar, dan bergunjing atau pembicaraan yang tidak berguna.
Selain
untuk makan, mulut kita digunakan untuk berbicara. Bila berbicara, seseorang
segan mengatakan hal-hal yang baik. Tetapi jika gossip mengenai orang lain,
seseorang dapat berbicara selama tiga bulan atah bahkan tiga tahun tanpa
berhenti, ini adalah akar kekotoran batin dan penderitaan. Mereka yang suka
bergosip akan kehilangan kepercayaan orang lain. Apa pun yang dikatakan akan
tidak dipercaya dan reputasi seseorang akan hancur. Kita harus menggunakan
mulut kita pada tempat dan saat yang benar. Menganjurkan dan memuji orang lain
akan menolong orang lain untuk memperbaiki diri.
B.5. Sila kelima
Surameraya majjapamdatthana veramani
sikkhapadam samdyami (aku berusaha melatih diri untuk menghindari minuman keras
yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran. Mengahargai keadaan fisik dan mental
yang sehat dengan tidak meminum minuman
keras maka aku akan lebih sehat
dan tidak akan melanggar sila-sila karena hilangnya kesadaran. Menyadari
penderitaan yang disebabkan oleh komsumsi minuman atau obat yang tidak benar,
akan berusaha mengembangkan kesehatan fisik dan mental diriku, keluargaku, dan
masyarakat dengan melatih makan, minum, dan mengkonsumsi bahan-bahan yang baik.
Aku akan mencerna hanya benda-benda yang melindungi kesehatan dan kegembiraan
serta kesadaran dalam batin dan jasmani, baik bagi diriku, keluargaku, dan
masyarakat. Aku berusaha tidak menggunakan alcohol, obat/racun atan makanan
yang mengandung elemen negative. Aku akan mengembangkan kesadaran dan
perhatian. Aku menyadari bahwa merusak tubuh dan pikiran dengan racun-racun itu
akan membawa kemunduran bagi keluarga dan masyarakat. Aku akan berusaha
mengubah kekerasan, ketakutan, kemarahan dan kebingungan dalam diriku dan
masyarakat dengan menyeimbangkan fisik dan mental. Aku memahami bahwa keseimbangan
itu sangat penting bagi perunahan positif pada diriku dan masyarakat, serta
membawa kemajuan dalam pengembangan batin.
Maraya adalah minuman keras, sura adalah zat
yang membuatnya mabuk (alcohol). Majja adalah sesuatu yang menyebabkan
seseorang tidak sadarkan diri. Sura mengacu kepada minuman keras yang disuling.
Maraya mengacu kepada minuman keras yang didapat dari bahan yang diragikan.
Majja mengacu kepada ganja, morfin, heroin, dan lain-lain yang sejenisnya.
Gabungan dai kata-kata tersebut dapat disepadankan artinya dengan ‘segala yang
dapat menyebabkan lemahnya kesadaran’.
Sila kelima ini telah dilanggar, bila
terdapat empat faktor :
1) Ada sesuatu yang merupakan sura, meraya, atau
majja
2) Ada niat untuk meminum / menggunakannya
3) Meminum/menggunakannya
4) Timbul gejala-gejala mabuk
Akibat buruk dari melanggar sila ke lima
adalah :
1)
Tidak
disenangi keluarga
2)
Mudah
terserang penyakit
3)
Menimbulkan
banyak musuh
4)
Kecerdasannya
berkurang
5)
Harta
habis dihambur-hamburkan
Mereka yang tidak melaksanakan pancasila yang
merupakan latihan moral yang paling dasar, berarti telah memotang akar
kelahiran sebagai manusia. Buddha bersabda dalam Dhammapada 246-247 sebagai
berikut :
“Siapa saja yang memusnahkan makhluk hidup,
mengambil yang tidak diberikan, berkata tidak benar, pergi bersama istri orang
lain (untuk berzinah) dan memuaskan diri dengan cara demikian, memotong akar
(kebajikan) dalam dirinya di alam ini”.
Pada
penjelasan di atas telah dikatakan bahwa pancasila merupakan satu sila dasar
bagi seorang upasaka-upasika dalam kehidupan sehari-hari. Upasaka berarti
seorang laki-laki yang menyatakan berlindung kepada Triratna/Tiratana dan
bertekad akan menjalankan pancasila dalam kehidupannya sehari-hari, sedangkan
upasika berarti seorang wanita yang memiliki tekad yang sama dengan upasaka.
Salah
satu dari kelima sila tersebut, adalah sila yang dapat membantu tercapainya
satu usaha dalam menghadapi bahaya narkotika, yaitu sila kelima. Sila ini
mengajarkan kepada kita untuk dapat melatih kewaspadaan yaitu berlatih untuk
menghindari minum-minuman yang menyebabkan ketagihan atau lemahnya kewaspadaan.
Seseorang yang kewaspaannya lemah akan mudah melakukan perbuatan salah melalui
ucapan atau perbuatan fisik lainya. Akibat perbuatan seperti itu, maka ia
sendiri maupun orang lain akan dirugikan atau menderita. “Orang yang tidak
waspada menuju kea rah kematian” (Dhammapada
21).
Apabila
sila kelima ini dilanggar, maka akan menyebabkan sila yang lain akan dengan
mudahnya dilanggar oleh orang tersebut yang akan mengakibatkan sulit bagi dirinya
untuk memperoleh kebahagiaan pada kehidupan sekarang maupun pada kelahiran atau
kehidupan di alam bahagia.
Pancasila
dapat dilatih satu per satu, tidak perlu menaati semua sila bersamaan.
Memperhatika lingkungan, kondisi, dan menetukan jumlah sila yang dapat ditaati.
Tidak boleh teledor dalam menerima sila dan wajib mempertimbangkan masak-masak
bila ingin menerimanya. Tidak boleh menerima sila hanya karena reputasi dan rasa bangga, atau hanya
ikut-ikutan. Hal penting yang harus dipahami adalah tidak boleh memaksa diri
melakukan hal-hal yang tidak dapat dicapai. Hal ini dapat berkembang menjadi
kebiasaan buruk melalui pelanggaran sila. Memahami tujuan menerima sila dan
memastikan keseriusan dalam menaati sila-sila tersebut, dapat menganjurkan
orang lain untuk menaati sila dan berlatih dengan tekun.
Pancasila
merupakan dasar perilaku manusia. Dengan menaati pancasila, kita dapat memiliki
pikiran yang terang, jernih dan saleh. Kita akan memiliki hidup yang bahagia
dan penuh percaya diri. Semoga semua tekun berlatih pancasila dan
sebaik-baiknya sebagai manusia dengan bekerja keras untuk mencapai kedamaian.
"…
Bukan karena kelahiran seseorang menjadi tidak mulia atau hina, Bukan karena
kelahiran seseorang menjadi mulia, Tetapi perbuatan atau tingkah lakulah yang
menentukan seseorang hina atau mulia…" (Vasala Sutta, Sutta Nipata 136)
“… Bagaikan sekuntum bunga yang
indah serta berbau harum, demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara
yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya…”
(Dhammapada 52).
C.
Pancadhamma
Pancadhamma
adalah lima kebenaran yang harus dilaksanakan oleh siswa Buddha. Pancadhamma
bersifat pasif, sifat pasif ini yang membuat pancadhamma sering disebut sebagai
kalyanadhamma yang memuliakan seseorang yang mempraktekannya dengan kesungguhan.
Pancadhamma artinya lima sifat mulia. Kelima sifat mulia tersebut adalah
sebagai berikut :
C.1.
Metta
Metta karuna artinya adalah cinta
kasih dan belas kasih terhadap semua makhluk hiudp. Metta kurana yaitu perasaan
cinta kasih dan welas asih yang terwujud melalui suatu keinginan untuk membantu
makhluk lain mencapai kebahagiaan seperti yang telah dialami oleh dirinya
sendiri.
Metta berarti cinta kasih universal
yang dipancarkan dengan tanpa batas dan tanpa pamrih apapun. Karuna adalah rasa
kasihan melihat penderitaan yang dialami orang atau makhluk lain. Metta dan
Karuna adalah dua sifat pertama dari empat kediaman luhur (Brahma Vihara) atau
empat keadaan yang tak terbatas (Apamanna). Metta dan Karuna memiliki tujuan
yang sama, yaitu mengharapkan orang lain atau makhluk lain berbahagia.
Kalau seseorang
dapat melaksanakan metta karuna dengan baik, maka ia akan dapat melaksanakan
sila pertama dari pancasila buddhis dengan baik. Metta dan karunamerupakan
pasangan positif dari tekad untuk melaksanakan sila pertama pancasila buddhis.
Dalam hal ini metta bukan sekedar perasaan sentimental atau emosi, melainkan
metta yang diwujudkan dengan tindakan. Tidaklah cukup hanya memiliki perasaan
kasih dan sayang kepada orang lain. Seseorang harus mewujudkan secara nyata
dalam perbuatan. Jika hanya merasa sayang dalam pikiran, memikirkan betapa
mencintai setiap orang dan betapa baiknya kita terhadapnya, maka rasa kasihnya
itu segera akan berubah menjadi rasa puas diri yang semata-mata bersifat
emosional. Hal inii perlu diwaspadai.
C.2.
Samma Ajiva
Samma ajiva
yaitu kesabaran dalam cara berpenghidupan benar. Perlu ditekankan di sini bahwa
kesabaran ini merupakan suatu bantuan besar bagi pelaksana sila kedua. Dapatlah
dikatakan bahwa hampir tidak mungkin seseorang dapat melatih sila yang kedua
tanpa melatih dan mengembangkan kesabaran tersebut. Samma ajiva dapat diartikan sebagai mata pencarian benar.
Maksud bermata pencahrian benar adalah mencari penghidupan dengan cara baik,
tidak mengakibatkanpembunuhan, wajar dan halal, bukan karena mencuri, bukan
karena merampok, bukan karena mencopet, dll, tidak berdasarkan penipuan, tidak
berdasarkan ilmu-ilmu yang rendah seperti meramal, perdukunan, tukang tenun,
dll. Tidak berdangang senjata, tidak berdagang racun, tidak berdagang binatang
untuk korban, dan tidak berdagang manusia (budak). Dengan melaksanakan samma
ajiva maka kita tidak akan melanggar pancasila buddhis sila ke dua. Praktik
yang mendukung agar tidak melakukan perbuatan mencuri adalah praktek kemurahan
hati, atau dana. Praktek kemurahan hati merupakan ekspresi langsung dari usaha
mengikis kemelekatan dan keserakahan. Karena perbuatan mencuri adalah ekspresi
langsung dari kemeleketan dan keserakahan.
Dalam Anguttara Nikaya V
177 Sang Buddha juga menjelaskan bahwa sebagai seorang umat Buddha
(upasaka-upasika), hendaknya menghindari lima macam perdagangan salah (miccha
vanija), yaitu:
1)
Berdagang makhluk hidup
2)
Berdagang daging
3)
Berdagang senjata
4)
Berdagang racun, dan
5)
Berdagang minuman keras
Korupsi, meramal, berjudi
dan cara-cara lain yang bertentangan dengan Dhamma dalam mencari penghidupan
bukanlah mata pencaharian yang benar. Tinggalkanlah semua itu dan tempuhlah
penghidupan yang benar yang sesuai dengan Dhamma.
C.3.
Santutthi
Santutthi yaitu
perasaan puas terhadap apa yang telah menjadi miliknya. Dalam hubungannya
dengan pelaksanaan sila ketiga, perasaan puas ini dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
1.
Sadarasantutthi, perasaan puas memiliki
satu istri. Dengan perkataan lain, tidak meninggalkan istrinya pada waktu sehat
maupun sakit pada waktu muda maupun tua dan tidak berusaha untuk pergi atau
mencari wanita lain.
2.
Pativatti, rasa setia kepada suami. Rasa
setia tidak terbatas pada waktu. Sekalipun suaminya telah meninggal dunia, ia
lebih suka menjanda seumur hidupnya, meskipun ia sebenarnya oleh tradisi dan
hukum negara dipekenankan untuk menikah lagi.
Santutthi
artinya puas dengan apa yang dimilikinya. Puas dalam hal ini adalah puas dalam
hal memiliki satu pasangan istri/suami. Bagi yang belum beristri/suami harus
puas sengan keadaan yang sedang dialami (sebagai bujangan/hidup selibat).
Pelaksanaan santutthi ini akan menjaga seseorang tidak melanggar sila ke tiga
pancasila Buddhis. Puas disini adalah rasa cukup tidak hanya berarti penerimaan
status itu secara pasif. Dalam ilmu psikologi rasa cukup berarti suatu keadaan
positif, di mana seseorang tidak menggunakan seks sebagai pemuas kebutuhan
birahinya.
C.4. Sacca
Sacca yaitu
kejujuran yang diwujudkan sebagai keadilan, kemurnian, kesetiaan dan perasaan
terima kasih. Sacca artinya kebenaran atau kejujuran. Jujur disini berhubungan
dengan pembicaraan seseorang terhadap orang lain yang disertai kehendak.
Pelaksanaaan sacca merupakan pasangan positif dari latihan untuk tidak
melanggar pancasila buddhis sila keempat.
“… Seseorang yang suka
berdusta, mengabaikan kebenaran Dhamma, melakukan semua perbuatan jahat, pasti
akan menderita pada kehidupan yang akan datang…" (Dhammapada 13)
C.5. Satisampajanna
Satisampajanna
yaitu kesadaran dan pengertian benar. Dalam hubungannya dengan pelaksanaan
sila, satisampajanna ini sering diartikan sebagai kewaspadaan. Kewaspadaan
tersebut dapat dibagi menjadi empat macam :
1)
Kewaspadaan dalam hal makan
2)
Kewaspadaan dalam hal pekerjaan
3)
Kewaspadaan dalam hal bertingkah laku.
4)
Kewaspadaan terhadap hakikat hidup dan
kehidupan.
Satisampajanna
berarti selalu ingat (eling) dan waspada. Kawaspadaan atau sadar mengacu kepada
kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melakukan pelanggaran sila ke lima.
Dengan selalu inagt dan waspada tidak akan tergiur oleh lingkungan atau bujukan
teman-teman kita untuk berbuat salah, sehingga kita dapat melaksanakan sila
kelima dengan baik.
Menjaga kesadaran atau
kewaspadaan sangatlah penting. Kesadaran yang terjaga dengan baik akan membuat
kita bahagia dan sebaliknya kelengahan/mabuk akan menyeret pada penderitaan.
Sebagaimana yang dinyatakan Sang Buddha.
"… Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan
adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak akan mati, mereka yang
tidak sadar seperti orang mati…" (Dhammapada 2).
Dari
uraian di atas jelaslah bahwa pancasila dan pancadhamma adalah dua hal yang
saling berhubungan. Pancasila adalah penghindaran siri dari perbuatan yang
tidak baik, sedangkan pancadhamma adalah pelaksanaan dari perbuatan tyang tidak
baik. Pancasila berguna untuk mengendalikan diri, dan pancadhamma berguna untuk
mengembangkan perbuatan baik.
D.
Hubungan
Pancasila dengan Pancadhamma
Sifat-sifat
seorang ariya berkaitan dengan sila dan praktek-praktek mulia (kalyana dhamma).
Orang yang melatih sila belum tentu sudah meiliki sifat-sifat mulia itu
sebelumnya. Misalnya, bilamana seseorang kebetulan melihat orang lain sedang
tenggelam sewaktu ia berlalu dalam sebuah kapal, secara moral ia pasti akan
berhenti dan menyelamatkan orang itu. Tetapi, apabila ia tidak mau bersusah
payah untuk berbuat demikian meskipun ia mampu dan membiarkan orang tadi
tenggelam, kita tidak dapat mengatakan bahwa ia telah melanggar sila. Hanya ia
telah kehilangan sesuatu yang bernilai tinggi daripada sila, yaitu sifat mulia.
Ia akan mendapat selaan atas kekurangannya akan sifat mulia yang positif. Lain
halnya apabila ia mau berusaha sekuat tenaga untuk menolong orang yang
tenggelam itu, barulah ia pantas disebut orang mulia atau kalyana dhamma ini
akan membuat mulia siapa yang melaksanakannya.
Ada lima sifat mulia yang bersifat
aktif-positif dan berpasangan dengan salah satu dari lima sila. Nilainya lebih
tinggi daripada pantangan yang bersifat pasif, yaitu pancasila. Kelima sifat
mulia yang aktif itu adalah :
1) Cinta-kasih
dan belas-kasihan, berhubungan dengan pantangan membunuh
2) Kesabaran
dan cara-cara penghidupan yang benar, berhubungan demgan pantangan untuk
mencuri baik langsung maupun tidak langsung
3) Kepuasaan
dalam hidup perkawinan, berhubungan dengan pantangan untuk melakukan perbuatan
asusila.
4) Kebenaran,
berhubungan dengan pantangan untuk berbohong
5) Kewaspadaan,
berhubungan dengan pantangan untuk makan dan minum-minuman keras yang
menyebabkan lemahnya kesadaran atau mabuk.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pancasila adalah ajaran dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila ini berasal dari bahasa Sanskerta pañcaśīla dan berarti adalah Lima Kemoralan. Pancasila Buddhis digunakan untuk seseorang yang akan
memasuki kehidupan beragama Buddha. Sang Buddha bersabda bahwa, “Barang siapa
sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu berbicara
benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya
(Dhammapada, XVI: 217). Pancadhamma adalah lima kebenaran yang harus
dilaksanakan oleh siswa sang Buddha. Pancadhamma disebut juga dengan lima sifat
mulia dan pancadhamma bersifat pasif.
Ada
lima sifat mulia yang bersifat aktif-positif dan berpasangan dengan salah satu
dari lima sila. Nilainya lebih tinggi daripada pantangan yang bersifat pasif,
yaitu pancasila. Kelima sifat mulia yang aktif itu adalah :
1) Cinta-kasih
dan belas-kasihan, berhubungan dengan pantangan membunuh
2) Kesabaran
dan cara-cara penghidupan yang benar, berhubungan demgan pantangan untuk
mencuri baik langsung maupun tidak langsung
3) Kepuasaan
dalam hidup perkawinan, berhubungan dengan pantangan untuk melakukan perbuatan
asusila.
4) Kebenaran,
berhubungan dengan pantangan untuk berbohong
5) Kewaspadaan,
berhubungan dengan pantangan untuk makan dan minum-minuman keras yang
menyebabkan lemahnya kesadaran atau mabuk.
B.
Saran
Pancasila tidk pernah dimaksudkan untuk membatasi
kebebasan, karena pancasila dapat melindungi kita sepanjang dijalankan dengan
baik. Melanggar salah satu petunjuk dari pancasila bukan berarti dosa yang
tidak dapat dimaafkan, itu dilihat sebagai tindakan keliru karena kurangnya
kebijaksanaan. Pada awalnya, umat perumah-tangga mungkin mengalami kesulitan
untuk menjalankan pancasila secara lengkap dan berkesinabungan. Tetapi
hendaknya hal itu tidak melemahkan semangat. Bahkan jika seseorang hanya dapat
menjalankan satu atau dua petunjuk dari pancasila dengan baik, orang itu tlah
meletakan dasar untuk kebahagian di masa sekarang dan yang akan dating,
seseorang dapat mengulang tekadnya menjalankan pancasila tiap harinya untuk
mengingatkan dirinya pada cara hidup yang ideal yang seharusnya dijalankan.
Seseorang harus berusaha sedapat mungkin untuk mencapai keadaan yang ideal ini.
Dengan melakukan hal itu, seseorang akan menemukan kadamaian dalam dirinya
sehingga lebih mudah menghadapi dunia ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Muryanto,toto.
1994. Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah
Menengah Pertama kelas 1. Jakarta. Penerbit: B.P.B. Aryasuryacandra.
Suandika.
2006. Buku pelajaran pendidikan agama
Buddha. Surabaya. Penerbit: Paramita Surabaya.
Rofianto,anas.2005.
Buku pelajaran Agama Buddha.
Surabaya. Penerbit: Paramita Surabaya
Wijaya-mukti,krishnanda.2003.
Wacana Buddha Dhamma.Jakarta. Penerbit:
Yayasan Dharma Pembangunan
Dhammananda,
sri. 2000. Menjadi Pelita Hati (be a lamp upon yourself). Bandung. Penerbit: Pemuda
Vihara Vimala Dharma.
Dhamma,
sri . 2004. Keyakinan Umat Buddha.
Jakarta . Penerbit : Yayasan Karaniya
Rashid,
Drs. teja S.M. 1997. Sila dan Vinaya.Jakarta
. Penerbit : Budhis Bodhi
Wowor,corneles.
2003. Buku Pelajaran Agama Buddha.
Jakarta. Penerbit : CV.Felita Nusantara Lestari.
Team
penerjemah kitab suci sutta pitaka. 1992. Sutta
pitaka digha nikaya. Jakarta. Penerbit : CV. Danau Batur.
Team
penerjemah kitab suci agama budha. 2004. Sutta
pitaka majjhima nikaya IV. Jakarta. Penerbit : Dewi karayana Abadi.
Departemen
agama RI.2005. Sutta pitaka majjhima
nikaya V. Surabaya. Penerbit: paramita Surabaya.
Departeman
agama RI. 2003. Buku pelajaran agama
Buddha. Jakarta. Penerbit: direktorat jendral bii,bimbingan masyarakat
hindu dan Buddha.
Gunawan.
Tahun tidak diketahui. Dharma dalam kehidupan sehari-hari.
Jakarta. Penerbit: Dharmasagara.
0 komentar:
Posting Komentar